Hadits A: Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Hendaklah kalian menjauhi berburuk sangka karena berburuk sangka itu adalah
sedusta-dusta perkataan, dan janganlah mencari-cari kesalahan, dan janganlah
kalian mengintip, dan janganlah saling membenci, dan janganlah saling
membelakangi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.[1]
Hadits B: Diriwayatkan bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam pernah bersabda: Sesiapa bersangka baik kepada manusia, maka banyaklah
penyesalannya.[2]
Dua hadits di atas nampaknya saling bertentangan.
Hadits A menganjurkan umat Islam untuk senantiasa berbaik sangka sesama mereka
manakala Hadits B menerangkan bahwa berbaik sangka sesama umat akhirnya akan
membawa kerugian dan penyesalan kepada diri sendiri. Dengan kata lain, Hadits B
seolah-olah menganjurkan umat untuk senantiasa berburuk sangka sesama sendiri.
Namun antara dua hadits ini terdapat
perbedaan kekuatan isnadnya. Hadits A adalah sahih sebagaimana yang disepakati
oleh Bukhari dan Muslim manakala Hadits B adalah daif karena dalam isnadnya
terdapat dua orang perawi yang tidak diketahui kedudukan mereka – adakah mereka
jujur atau tidak, terpercaya atau tidak dan adakah hadits-hadits yang mereka
riwayatkan dapat diterima atau tidak. Oleh karena itu yang benar hanyalah Hadits
A manakala Hadits B tertolak.
Dari contoh pertama ini dapat kita
pelajari satu rumusan yang penting, yaitu apabila wujud pertentangan antara dua
hadits yang berlainan kekuatannya, maka pertentangan tersebut dihilangkan
dengan mengambil hadits yang paling kuat manakala hadits yang lebih rendah
kekuatannya diketepikan.
Perbedaan kekuatan hadits adalah
antara penyebab berlakunya banyak pertentangan antara hadits-hadits Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh itu antara langkah pertama yang harus ditempuh
oleh seseorang apabila menemui dua atau lebih hadits yang bertentangan
maksudnya antara satu sama lain adalah dengan menyimak status kekuatan hadits-hadits
tersebut. Jika yang bertentangan adalah antara hadits yang kuat (sahih,
hasan) dengan hadits yang lemah (daif, maudhu’), pertentangan dapat
dihilangkan dengan mengesampingkan hadits yang lemah tersebut.
Penjelasan tambahan:
Pengajaran yang
terkandung dalam Hadits A adalah juga sejalan dengan pengajaran ayat al-Qur’an
al-Karim berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. [al-Hujurat 49:12]
Firman Allah
Subhanahu wa Ta‘ala: Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan
dari purba-sangka (kecurigaan)….. jelas adalah merupakan satu suruhan
agar meninggalkan berburuk sangka sesama umat, dengan kata lain hendaklah kita
selalu berbaik sangka. Sehingga jika yang kelihatan pada saudara seiman dengan
kita ialah sesuatu yang kurang baik, hendaklah kita tetap berusaha mencari
kebenaran disebaliknya, agar jelas kepada kita apakah yang sebenarnya
dimaksudkan oleh saudara kita tadi.
Diriwayatkan
daripada Amirul Mukminin Umar al-Khattab radiallahu ‘anhu: Janganlah kamu
berprasangka terhadap kalimat yang keluar dari saudara kamu yang beriman
kecuali dengan prasangka yang baik selama kamu dapati kemungkinan untuk
memahaminya dengan pemahaman yang baik.[3]
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin
rahimahullah [4] Apabila sampai
kepada kamu sesuatu berita tentang saudara kamu, maka carilah alasan yang
membenarkan tindakannya. Jika kamu tidak menemuinya, maka katakanlah: “Mungkin
dia mempunyai alasan”.[5]
Diriwayatkan
daripada Abu Qilabah rahimahullah[6] Apabila sampai kepada
kamu berita tentang saudara kamu yang tidak menyenangkan, maka carilah untuk
dia sesuatu alasan dengan kesungguhan usaha kamu. Dan jika tidak menemuinya,
maka katakanlah kepada diri kamu: “Barangkali dia mempunyai alasan yang aku
tidak mengetahuinya”. [7]
Demikianlah manhaj sebenar seorang mukmin terhadap saudaranya dalam
sangka bersangkaan. Jauh sekali manhaj ini dari apa yang dikhabarkan oleh Hadits
B sekalipun adakalanya kelihatan Hadits B lebih kerap diamalkan dari Hadits A
oleh sesama umat Islam. Maka sudah tiba masanya kita berubah sikap dari banyak
berburuk sangka kepada senantiasa berbaik sangka, dan sentiasa berusaha mencari
jalan untuk berbaik sangka sesama umat.
***
[1]Sahih: Hadits dari Abu
Hurairah radiallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan
lain-lain, lihat Sahih al-Bukhari – no: 6724 (Kitab Faraid, Bab
Pengajaran tentang Faraid).
[2]Sanad Daif: Hadits dari
‘Abd Allah ibn ‘Abbas radiallahu
‘anhu, dikeluarkan oleh Ibn ‘Asakir saja dalam Tarikh al-Damsyq, jld 57, ms
126-127 dari jalan Abu al-‘Abbas Mahmud bin Muhammad bin al-Fadhl
al-Rafiqi, telah diceritakan kepada aku oleh Abu ‘Abd Allah Ahmad bin Abi
Ghanam al-Rafiqi…… . Berkata Nasr al-Din al-Albani dalam Silsilah Hadits
Dhaif dan Maudhu’, jld 3, ms 427, no: 1152: Ibn ‘Asakir ketika
mengenengahkan biografi Abu al-Abbas ini, tidak menegaskan sikapnya, tidak memuji
atau mengecamnya. Sedangkan gurunya yakni Ahmad bin Abi Ghanam al-Rafiqi, tidak
saya dapati seorangpun ulama’ hadits yang menyebutkannya.
[3]Disebut oleh Ibn
Kathir dalam Tafsir al-Qur‘an al-‘Adzim, jld 4, ms 193, (tafsir bagi
ayat 49:12).
[4]Abu Bakar
Muhammad bin Sirin adalah seorang tokoh besar dari kalangan tabi‘in, ayahnya
ialah salah seorang budak kerja kepada Anas bin Malik radiallahu ‘anhu. Beliau
banyak mendengar dan menyampaikan hadits serta kuliah fiqh. Meninggal dunia
pada 110H.
[5]al-Ashbahani – al-Taubikh
wa al-Tanbih, no: 97; dinukil dari Tafsir Surat al-Hujurat: Manhaj
Pembentukan Masyarakat Berakhlak Islam, ms 273 oleh Nashir bin Sulaiman
al-’Umar..
[6]Beliau ialah Abu Qalabah 'Abd Allah
bin Zaid al-Jarami, seorang tabi'in yang banyak menerima hadits dari para
sahabat. Tinggal di Basrah, Iraq dan meninggal dunia pada 104H.
[7]Dikeluarkan oleh
Abu Nu'aim dalam Hilyah al-Auliya', no: 2411 (Tabaqat Ahl al-Madinah: 'Abd
Allah bin Zaid al-Jarami).
No comments:
Post a Comment