Jan 28, 2014

SHOLAT BERJAMAAH




  
-    Apakah jika imam menggerak-gerakan jarinya tatkala tasyahhud maka makmum juga harus ikut menggerak-gerakan jarinya, padahal sang makmum tidak meyakini akan sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud? Dan jika sebaliknya?

-     Apakah jika imam mengangkat kedua tangan tatkala hendak sujud maka makmum juga harus mengangkat kedua tangannya (padahal sang makmum tidak meyakini disunnahkannya hal tersebut)? Dan jika sebaliknya?

-     Apakah jika imam hendak sujud dengan meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya apakah makmum juga harus demikian?, sementara makmum meyakini didahulukannya kedua tangan sebelum kedua lutut?, dan jika sebaliknya?

-     Apakah jika imam melakukan duduk istirahat -tatkala hendak berdiri ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat- maka makmum juga harus duduk istirahat (padahal sang makmum tidak meyakini adanya duduk istirahat)?, dan jika sebaliknya?

-     Apakah jika imam qunut subuh maka sang makmum juga harus qunut subuh? (padahal sang makmum meyakini tidak disyari'atkannya qunut subuh)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus paham apa saja perkara-perkara yang sang makmum harus mengikuti imam dan tidak boleh menyelisihinya?

Nash yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah sabda Nabi

إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

"Hanyalah dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka sholatlah kalian (wahai para makmum-pent) berdiri juga, jika imam ruku' maka ruku'lah kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata "Sami'allahu liman hamidahu" ucapkanlah "Robbanaa wa lakalhamdu". Jika imam sholat berdiri maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk maka sholatlah kalian seluruhnya dengan duduk" (HR Al-Bukhari no 657)

Rasulullah juga bersabda:

إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا ...

"Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia ruku' maka ruku'lah kalian…" (HR Al-Bukhari no 689)

Ibnu Hajar berkata, "Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera menyusul sebagaimana gerakan sang imam"  (Fathul Baari 2/178)

Berkata An-Nawawi : "Hadits ini dalil akan wajibnya makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk, ruku', sujud, dan hendaknya ia melakukannya setelah imam. Maka ia bertakbirotul ihroom setelah imam selesai bertakbirotul ihrom. Jika bertakbirotul ihrom sebelum imam bertakbirotul ihrom maka tidak sah sholatnya. Ia ruku' setelah imam mulai ruku' dan sebelum imam berdiri dari ruku'. Jika ia menyertai imam (dalam ruku'-pent) atau mendahului imam maka ia telah berbuat keburukan akan tetapi sholatnya tidak batal. Demikian juga sujud. Dan ia memberi salam setelah imam selesai salam, jika ia salam sebelum imam salam maka sholatnya batal, kecuali jika ia berniat untuk memisahkan diri dari jama'ah sholat. Dan ada khilaf dalam permasalahan ini..." (Al-Minhaaj 4/131)

An-Nawawi juga berkata, "Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti maka maknanya menurut Imam As-Syafi'i dan sekelompok ulama yaitu (diikuti) pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (nampak), karena boleh saja seseorang yang sholat fardu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah dan sebaliknya, demikian juga seorang yang sholat asar bermakmum kepada orang yang sholat dzuhur dan sebaliknya.

Malik dan Abu Hanifah radhiallahu 'anhumaa dan para ulama yang lain berkata bahwasanya hal ini tidak diperbolehkan. Mereka berkata bahwasanya makna hadits adalah imam diikuti pada gerakan-gerakan dan juga pada niat (jadi niat harus sama antara imam dan makmum-pent). As-Syafii –radhiallahu 'anhu- dan para ulama yang sepakat dengannya berdalil dengan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami (dua kelompok dari) para sahabat di Batn Nakhl tatkala sholat khouf dua kali, sekali bersama kelompok pertama dan yang kedua bersama kelompok yang kedua. Maka sholat beliau yang kedua adalah sunnah adapun (para sahabat dari kelompok yang kedua) yang bermakmum di belakang Nabi sholat mereka adalah fardhu. Demikian juga hadits Mu'adz tatkala beliau setelah sholat isya bersama Nabi maka beliaupun setelah itu mendatangi kaum beliau lalu mengimami mereka, maka sholat tersebut sunnah di sisi Mu'adz dan wajib di sisi kaumnya.

Hal ini menunjukan bahwa mengikuti imam hanya wajib pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (Al-Minhaaj 4/134)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang lebih menguatkan pendapat Imam An-Nawawi ini (madzhab As-Syafi'i) bahwasanya kewajiban mengikuti imam yang pada gerakan-gerakan yang dzhohir karena yang disebutkan oleh Nabi dalam hadits adalah ruku', takbir, bangkit dari ruku' dan semacamnya, adapun niat maka tidak disebutkan dalam hadits (lihat Fathul Baari 2/178)


Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa makmum hanya wajib mengikuti gerakan-gerakan dzohir sang imam, jika sang imam bertakbir maka ia bertakbir pula, jika imam rukuk maka ia segera ruku' juga dan demikian juga jika imam duduk atau berdiri. Hal ini dimaksudkan agar makmum tidak mendahului imam atau terlambat mengikuti imam.

Adapun gerakan-gerakan yang tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam berupa mendahului atau keterlambatan maka tidak wajib bagi makmum untuk mengikuti imam.

Sebagai contoh jika sang imam tatkala duduk tasyahhud sholat subuh dengan tawarruk sedangkan sang makmum meyakini sunnahnya duduk iftirosy maka tidak wajib bagi sang makmum untuk meniru cara duduk sang imam. Karena hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan penyelisihan berupa mendahului atau keterlambatan.

Demikian juga jika ternyata sang imam tidak menggerak-gerakan jarinya sementara sang makmum meyakini sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud maka tidak wajib bagi sang makmum untuk mengikuti sang imam.

Syaikh Al-'Utsaimiin berkata, "Adapun perkara yang mengantarkan kepada penyelisihan imam maka imam harus diikuti (tidak boleh diselisihi-pent), adapun perkara yang tidak menyelisihi imam –seperti mengangkat kedua tangan tatkala hendak ruku' jika ternyata sang imam tidak mengangkat kedua tangannya sedangkan makmum memandang disyari'atkannya mengangkat kedua tangan- maka tidak mengapa bagi makmum untuk mengangkat kedua tangannya. Karena hal ini tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam atau keterlambatan (dalam mengikuti imam).

Demikian juga halnya dalam masalah duduk, jika imam tidak duduk tawarruk sedangkan sang makmum memandang disyari'atkannya duduk tawarruk atau sebaliknya maka sang makmum tidak mengikuti sang imam, karena sang makmum tidak menyelisihi sang imam dan juga tidak terlambat (dalam mengikuti sang imam). (Majmuu' Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-'Utsaimiin15/79)


Bagaimana jika sang imam tidak duduk istirahat?


Jika sang imam tidak duduk istirahat tatkala bangkit ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat, sedangkan makmum memandang disyari'atkannya hal ini, maka apakah makmum tetap boleh duduk istirahat menyelisihi imam? Dan bagaimana jika perkaranya sebaliknya?

Syaikh Al-'Utsaimiin rahimahullah berkata, "Adapun jika (penyelisihan gerakan-pent) mengakibatkan keterlambatan makmum –misalnya makmum memandang disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang imam tidak- maka makmum tidak duduk istirahat. Karena jika sang makmum duduk istirahat maka ia akan terlambat dari imam, padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kita untuk bersegera dalam mengikuti imam, beliau bersabda, "Jika imam bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika imam ruku maka ruku'lah…". Demikian juga jika perkaranya sebaliknya. Jika imam memandang disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang makmum tidak, maka jika imam duduk istirahat  hendaknya sang makmum juga duduk meskipun sang makmum tidak memandang disyari'atkannya duduk istirahat, namun demi mengikuti imam. Inilah kaidah dalam mengikuti imam, yaitu makmum tidak melakukan hal yang menyebabkan penyelisihan atau keterlambatan" (Majmuu' Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-'Utsaimiin15/79)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Telah valid bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam duduk istirahat, akan tetapi para ulama berselisih antara apakah Nabi melakukannya karena beliau sudah tua sehingga butuh untuk duduk istirahat?, ataukah Nabi melakukannya karena duduk istirahat merupakan sunnah dalam sholat?. Barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan kedua maka menganggap duduk istirahat hukumnya mustahab sebagaimana pendapat As-Syafi'i dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan pertama maka tidak menganggap mutahabnya duduk istirahat kecuali jika memerlukannya sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad.

Barangsiapa yang melakukan duduk istirahat maka tidak boleh diingkari meskipun posisinya sebagai makmum (sementara imam tidak melakukannya-pent) karena keterlambatannya mengikuti (imam yang tidak duduk istirahat) hanya sedikit dan tidak termasuk keterlambatan yang dilarang –menurut mereka yang berpendapat akan mustahabnya duduk istirahat-. Bukankah ini perbuatan yang merupakan perkara ijtihad? Karena sesungguhnya telah bertentangan antara melakukan sunnah ini –yaitu menurutnya- dengan bersegera mengikuti imam?, sesungguhnya mengikuti imam lebih utama daripada terlamabat. Akan tetapi keterlambatan tersebut hanya sedikit, maka perkaranya seperti jika imam berdiri dari tasyahhud awal sebelum makmum menyelesaikan (bacaan) tasyahhud awal padahal makmum memandang mustahabnya menyempurnakan bacaan tasyahhud awal (sehingga akhirnya sang makmum terlambat beridiri-pent). Atau seperti jika imam salam padahal sang makmum masih ingin berdoa sedikit lagi, apakah sang makmum segera salam ataukah menyempurnakan dahulu doanya?. Permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk permasalahan ijtihad, dan yang paling kuat adalah bersegera mengikuti imam lebih utama dari pada terlambat karena melakukan perkara yang mustahab. Wallahu A'lam (Majmuu' Al-Fataawaa 22/452-453).


Bagaimana jika sang imam qunut subuh?



Ibnu Taimiyyah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

 إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ "Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti" dan juga bersabda:
 لاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَى أَئِمَّتِكُمْ  "Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian", dan telah valid juga dalam shahih bahwasanya beliau bersabda:
 يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ، وَعَلَيْهِمْ  "Mereka (para imam) sholat bagi kalian, jika mereka benar maka pahalanya buat kalian dan buat mereka, dan jika mereka salah maka pahalanya bagi kalian dan kesalahan bagi mereka.
 Bukankah jika imam membaca surat setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang terakhir dan memanjangkan bacaan surat tersebut maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya (menunggunya-pent)?  Adapun mendahului imam maka hal ini tidak diperbolehkan, maka jika imam qunut maka tidak boleh makmum mendahuluinya, akan tetapi harus mengikuti imam. Oleh karenanya Abdullah bin Mas'uud mengingkari Utsman karena sholat empat rakaat (tatkala safar-pent) akan tetapi beliau sholat empat rakaat diimami oleh Utsman. Maka dikatakan kepada beliau kenapa beliau berbuat demikian, maka beliau berkata الخِلاَفُ شَرٌّ Perselisihan itu buruk" (Al-Fataawa Al-Kubro 1/229)

Beliau juga berkata, "Wajib bagi makmum untuk mengikuti imam pada perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad meskipun sang makmum tidak sependapat. Sebagaimana jika imam qunut subuh atau menambah jumlah takbir tatkala sholat janazah hingga tujuh kali. Akan tetapi jika sang imam meninggalkan satu perkara yang perkara tersebut menurut makmum adalah rukun atau syarat sholat maka ada khilaf (apakah makmum tetap mengikuti imam atau tidak?-pent)" (Jaami'ul Masaail 5/388)

Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar memahami nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat qunut shalat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di belakang Imam yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aminkanlah doa imam tersebut.” Semua ini demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 4/86)

Jan 21, 2014

Imam 4 Mahzab



Di antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini.
Keempatnya masih utuh tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas muslimin di muka bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih mampu melahirkan para ulama besar di masa sekarang ini.
Berikut sekelumit sejarah keempat mazhab ini dengan sedikit gambaran landasan manhaj mereka.
1. MazhabAl-Hanifiyah.
Didirikan oleh An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin (tabi’utabiin), sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in. Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah:
Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar'i. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak
wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits. Di kemudian hari, metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat umat Islam sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber syariah Islam. Metodologi mazhab ini menjadi sangat menentukan dalam dunia fiqih di berbagai negeri.

2. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi (93 – 179H).Berkembang sejak awal di kota Madinah dalam urusan fiqh. Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran, As-Sunnah (dengan lima rincian dari masing-masing Al-Quran dan As Sunnah; tekstualitas, pemahaman zhahir, lafaz umum, mafhum mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah ), Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah (perbuatan penduduk Madinah), perkataan sahabat, istihsan , saddudzarai’ , muraatul khilaf, istishab , maslahah mursalah, syar'u man qablana (syariat nabi terdahulu). Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru 'kebanjiran' sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.

3. Mazhab As-Syafi'iyah
Didirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H). Beliau dilahirkan di Gaza Palestina (Syam) tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya ( madzhab qodim ). Kemudian beliau pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru ( madzhab jadid ). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul 'ilm di akhir bulan Rajab 204 H. Salah satu karangannya adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra'yi (Al-Hanafiyah) dan fiqh ahli hadits (Al-Malikiyah). Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah)” Kitab “Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i. Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al- Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”

4. Mazhab Al-Hanabilah
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H). Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam.
Beliau berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil . Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari (104 – 183 H). Imam Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir,”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal (Imam Ahmad),”
Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’.
Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursaldan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau munkar.
Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal (w 266 H) anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (213 – 290 H). Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad (w 273 H), Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran (w 274 H), Abu Bakr Al-Khallal (w 311 H), Abul Qasim (w 334 H) yang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.

Begitulah latar belakang para Imam mahzab, mudah-mudahan dengan ini kita bisa sedikit memahami mengapa kadang kala mereka berbeda pendapat tentang suatu hal. Dengan demikian kita tidak sekedar ikut-ikutan, membanggakan satu mahzab dan menjelek-jelekan pendapat yang lain. Wallahu a'lam bish-shawab

Jan 17, 2014

BAYI TABUNG



Bayi tabung adalah istilah awamnya, sedangkan dalam kedokteran dikenal dengan istilah “artificial insemination” atau inseminasi [pembuahan] buatan. Mengenai pengertian dan macamnya maka lumayan beragam, ada GIFT [Gamete intrafallopian Transfer], IVF [in Vitro fertilization], ZIFT [Zygote intrafallopian Transfer], ICSI [Intracytoplasmic Sperm Injection].
Ringkasnya, bayi tabung intinya usaha mempertemukan sperma dan sel telur, sehingga terjadi pembuahan, baik itu di lakukan diluar rahim [disebut inseminasi ekternal] atau di dalam lahir [disebut inseminasi internal].
Bayi tabung merupakan hasil kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran modern. Telah berhasil dilakukan dan terbukti. Hal ini memunculkan permasalahan fiqh kontemporer di antara para ulama mengenai bagaimana hukum bayi tabung. Ulama berbeda pendapat mengenai bayi tabung ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada yang merincinya setelah melakukan diskusi ilmiyah dengan para dokter ahli mengenai rincian cara bayi tabung.

Fatwa yang mengharamkan bayi tabung secara mutlak
Fatwa syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah,
س: هل يجوز للرجل أن يسمح للطبيب أن ينقل ماءه إلى زوجته أو ما يغرف بطفل ألأنابيب

Pertanyaan: Apakah diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang mengizinkan dokter untuk memindahkan/ transfer spermanya ke [rahim] istrinya atau apa yang dikenal dengan “bayi tabung”?

الجواب: لا يجوز, لأن هدا النقل يستلزم على الأقل أن يكشف الطبيب عن عورة الزوجة والاطلاع على عورة النساء لا يجوز شرعا, لا يجوز ارتكابه إلا لضرورة, و لا نتصور أن يكون هناك ضرورة لرجل كي ينقل ماءه بهذه الطريقة المحرمة ألى زوجته

Tidak boleh, karena proses pemindahan ini berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain hukumnya adalah haram secara syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
dan tidak bisa dibayangkan keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini.

و قد يستلزم هذا أحيانا اطلاع الطبيب على عورة الرجل – أيضا – و هذا لا يجوز, و سلوك هذا الطريق فيه تقليد للغرب في كل ما يأتون و ما يذرون

Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan ini pun tidak boleh. Menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka senangi atau (sebaliknya) mereka hindari.

و هذا الإنسان الذي لم يرزق ولدا بطريقة الطبيعة, و معنى ذالك أنه لم يرض بقضاء الله و قدره, و إذا كان الرسول صلى الله عليه و سلم يخص المسلمين غلى أن يسلكوا الطرق المشروعة في سبيل تحصيل الرزق و الكسب الحلال, فمن باب أولى أن يخصهم غلى أن يسلكوا السبل المشروعة في سبيل حصول على لولد

Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (dengan jima’), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jikalau saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kaum muslimin untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat dalam mencari rizki dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat dalam mendapatkan anak.” [Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288, Darul Ibnu Hasyim, Koiro, cet. Ke-1, 1423 H]

Fatwa syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah
Ketika ditanya mengenai bayi tabung, beliau menjawab,
وبعد يسمى هذا طفل الأنابيب ولا أرى جوازه بل على المسلم أن يقنع بما كتب الله عليه كما قال تعالى وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا فهذا قضاء الله تعالى وقدره حيث جعل من النساء عاقرًا لا تلد ومن الرجال عقيمًا لا ينجب فيرضى العبد ويسلم لحكم الله

Hal ini yang disebut bayi tabung, saya tidak melihat hal tersebut boleh, bahkan wajib bagi seorang muslim merasa qona’ah/ridha dengan apa yang Allah tetapkan padanya. Sebagaimana firman-Nya Ta’ala dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki”, ini adalah takdir dan ketetapan Allah Ta’ala dimana Allah menjadikan beberapa wanita mandul yang tidak bisa melahirkan dan menjadikan beberapa laki-laki mandul yang tidak bisa menghasilkan keturunan. Hendaklah seorang hamba ridha dan menerima hukum/ketetapan Allah.

ولا يلجأ إلى هذه العمليات التي تستدعي كشف العورات وفتح الفرجين والعمل في الرحم بعد إدخال الأنابيب لإخراج المني وإخراج البويضة من رحم المرأة وإخراج الحيوانات المنوية من الخصيتين ونحو ذلك مع التعرض لخروج الطفل مشوهًا معوقًا إن قدِّر حصوله، فعلى هذا لا أرى جواز هذه العمليات ولو جربت في بعض الناس فنجحت فذلك من باب المصادفة والمغامرة. نسأل الله العفو والعافية والمعافاة الدائمة والله أعلم .

Janganlah melakukan operasi pembedahan seperti ini, karena bisa menyebabkan terbukanya aurat dan dua kemaluan. Operasi pembedahannya pada rahim ,setelah memasukkan alat pembedahan untuk mengeluarkan mani dan mengeluarkan sel ovum dari rahim wanita dan mengeluarkan sel sperma dari kedua testis dan semisalnya kemudian mempertemukannya, untuk menghasilkan anak yang bisa saja tidak sempurna dan tidak mampu hidup/survive. Oleh karena itu, saya tidak melihat bolehnya operasi pembedahan ini. Walaupun telah terbukti pda sebagian manusia dan berhasil. Hal tersebut bisa saja merupakan suatu kebetulan dan spekulasi.
[ http://www.ibn-jebreen.com/?t=fatwa&view=vmasal&subid=12208]

Fatwa yang membolehkan bayi tabung dengan merincinya
Yaitu fatwa dari Majlis al-Majma’ul-Fiqh al-Islami pada pertemuan rutin mereka yang diadakan oleh Liga Muslim Dunia (Râbithatul-‘âlam al-Islâmi) di Mekah selama dua kali daurah (pertemuan). Para ulama ini berdiskusi juga dengan pakar dan dokter ahli mengenai bayi tabung, kemudian mengeluarkan fatwa sebagai berikut [jika terlalu panjang silahkan baca ringkasan penyusun dibawah]:
Permasalahan bayi tabung termasuk permasalahan terkini yang paling menonjol. Permasalahan ini banyak menyita perhatian masyarakat umum, termasuk para Ulama kaum Muslimin. Permasalahan ini menjadi salah satu tema pembicaraan mereka pada pertemuan rutin mereka yang diadakan oleh Liga Muslim Dunia (Râbithatul-‘âlam al-Islâmi) di Mekah selama dua kali daurah (pertemuan).
Majlis al-Majma’ul-Fiqh al-Islami (Islamic Fiqih Academy) pada daurah ke delapan yang diadakan di markaz Liga Muslim Dunia (Râbithatul-‘âlam al-Islâmi) di Mekah mulai hari sabtu 28 Rabî’ul akhîr sampai dengan tanggal 7 Jumâdil Ula 1405 H, bertepatan dengan tanggal 19-27 Januari 1985, telah memperhatikan beberapa masukan dari anggota majelis seputar keputusan “boleh” yang ditetapkan oleh majelis yang berkaitan dengan inseminasi buatan dan bayi tabung. Keputusan itu dikeluarkan pada daurah ke tujuh yang diadakan dari tanggal 11 sampai dengan 16 Rabî’ul akhîr 1404 H. Teks keputusan tersebut adalah :
“Cara ke tujuh (dari inseminasi buatan-pent), di mana sperma dan sel telur diambil dari pasangan suami istri, setelah mengalami proses pembuahan pada tabung, sel telur yang sudah dibuahi itu dimasukkan ke dalam rahim istri yang lain dari pemilik sperma. Istri yang lain ini telah menyatakan kesediaannya untuk mengandung janin madunya yang diangkat rahimnya.”
Majlis memandang hal itu boleh ketika diperlukan dan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disebutkan terpenuhi.
Inti masukan yang diberikan oleh sebagian anggota majelis terkait dengan keputusan di atas adalah :
Istri kedua yang dititipi sel telur yang sudah dibuahi, milik istri pertama ini ada kemungkinan hamil dari hasil berhubungan dengan sang suami, sebelum rahimnya diisi sel telur yang sudah dibuahi tersebut. Kemudian dia akan melahirkan bayi kembar dan akhirnya tidak bisa membedakan antara bayi dari sel telur yang dititipi dengan bayi dari hasil hubungan badannya dengan sang suami. Sebagaimana juga tidak bisa membedakan mana ibu dari bayi yang berasal dari sel telur yang dititipkan dan mana ibu dari bayi yang berasal dari hubungan intimnya. Terkadang bisa saja satu dari calon bayi yang masih berupa segumpal darah (‘Alaqah) atau segumpal daging (Mudhghah) itu mati. Ia tidak bisa keluar kecuali bersama kelahiran calon bayi yang satunya yang tidak diketahui, apakah yang gugur ini bayi yang berasal dari sel telur yang dititipkan itu ataukah berasal dari hubungan intim. Kemungkin-kemungkinan ini menyebabkan terjadinya percampuran nasab dari sisi ibu, mana ibu yang sebenarnya dari dua bayi ini, juga mengakibatkan kerancuan hukum yang menjadi konsekuensinya. Ini juga menuntut al-Majma’ untuk tidak memberikan hukum tertentu tentang jenis keadaan tersebut.
Pada daurah itu juga, majelis mendengarkan penjelasan dari para dokter ahli kandungan dan kebidanan yang hadir saat itu. Mereka menguatkan adanya kemungkinan hamil yang kedua dari hasil hubungan intim dengan sang suami ketika sedang mengandung janin yang berasal dari sel telur yang dititipi. Sehingga akan terjadi percampuran nasab sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Setelah mendiskusikan masalah ini, majelis menetapkan untuk mencabut kembali keputusan “boleh” pada cara ketiga dari tiga cara yang diperbolehkan. Cara ketiga ini disebutkan pada cara (inseminasi buatan) urutan ketujuh dari keputusan al-Majma’ul-Fiqh al-Islâmiy yang dikeluarkan pada daurah ketujuh tahun 1404 H. Dengan ditariknya keputusan boleh ini, maka keputusan al-Majma’ul Fiqh al-Islâmi tentang inseminasi buatan dan bayi tabung adalah sebagai berikut :

الْحَمْدُ للهِ وَحْدَهُ وَالصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى سَيَِدَنا وَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَ بَعْدُ :

Setelah memperhatikan dan mendiskusikan makalah yang disampaikan oleh salah anggota Râbithatul-‘âlam al-Islâmi yaitu yaitu Muhammad az-Zarqa’ tentang at-talqîhus shinâ’i (inseminasi buatan) dan bayi tabung, sebuah permasalahan yang banyak menyibukkan banyak orang, bahkan termasuk permasalahan zaman ini yang paling menonjol di dunia; anggota majelis mendengarkan hasil yang telah dicapai oleh terobosan ilmu dan teknologi ini di masa ini dalam menghasilkan anak dan mengatasi masalah kemandulan.
Dari penjelasan yang cukup memuaskan itu, akhir angota majelis mengetahui bahwa inseminasi buatan adalah usaha untuk mendapatkan anak tanpa melalui proses yang alami, tanpa melalui proses hubungan badan. Inseminasi buatan ini secara garis besar dilakukan dengan dua metode :
1. Pembuahan atau inseminasi terjadi dalam rahim yaitu dengan cara menginjekkan sperma lelaki pada bagian yang sesuai dari rahim wanita
2. Inseminasi diluar rahim, dengan cara memproses antara sperma dan sel teluar wanita pada tabung kemudian setelah terjadi pembuahan baru dimasukkan ke dalam rahim wanita.

Pada inseminasi buatan ini mesti terjadi penyingkapan aurat seorang wanita bagi orang yang melakukan proses ini.
Dari materi yang disampaikan oleh panelis dan dari diskusi, anggota majelis dapat mengetahui bahwa cara-cara yang ditempuh untuk melakukan inseminasi buatan ini, baik inseminasi yang terjadi di dalam rahim ataupun yang diluar rahim itu ada tujuh cara, sesuai dengan keadaan yang berbeda-beda. Inseminasi buatan yang dilakukan di dalam rahim ditempuh dengan dua cara, sedangkan inseminasi di luar itu dilaksanakan dengan lima cara sebagaimana kenyataan di lapangan, tanpa memandang hukum halal atau haramnya menurut syari’at.

INSEMINASI DI DALAM RAHIM ADA DUA CARA :
Cara pertama :
Sperma seorang suami diambil lalu diinjeksikan pada tempat yang sesuai dalam rahim sang istri sehingga sperma itu akan bertemu dengan sel telur yang dipancarkan sang istri dan berproses dengan cara yang alami sebagaimana dalam hubungan suami istri. Kemudian setelah pembuahan itu terjadi, dengan idzin Allah, dia akan menempel pada rahim sang istri. Cara ini ditempuh, jika sang suami memiliki problem sehingga spermanya tidak bisa sampai pada tempat yang sesuai dalam rahim.
Cara kedua :
Sperma seorang lelaki diambil lalu diinjeksikan pada rahim istri orang lain sehingga terjadi pembuahan di dalam rahim, kemudian selanjutnya menempel pada dinding rahim sebagaimana pada cara pertama. Metode digunakan karena sang suami mandul, sehingga sperma diambilkan dari lelaki lain.

INSEMINASI DI LUAR RAHIM ADA LIMA CARA :
Cara pertama :
Sperma seorang suami dan sel telur istrinya, diambil lalu diletakkan pada sebuah tabung sehingga sperma tadi bisa membuahi sel telur istrinya dalam tabung tersebut. Kemudian pada saat yang tepat, sperma dan sel telur yang sudah berproses itu (zigote) dipindahkan ke rahim sang istri, pemilik sel telur, supaya bisa berkembang sebagaimana layaknya janin-janin yang lain. Ketika masa mengandung sudah berakhir, sang istri akan melahirkannya sebagai seorang anak biasa, laki ataupun wanita. Inilah bayi tabung yang telah dihasilkan oleh penemuan ilmiyah yang Allah k mudahkan. Proses melahirkan seperti ini telah menghasilkan banyak anak, baik laki maupun perempuan atau bahkan ada yang lahir kembar. Berita keberhasilan ini telah tersebar melalui berbagai media massa.
Metode ditempuh ketika sang istri mengalami masalah pada saluran sel telurnya.
Cara kedua :
Pembuahan di luar yang diproses pada tabung antara sperma yang diambil dari seorang suami dan sel telur yang diambil dari sel telur wanita lain yang bukan istrinya, dikenal dengan sebutan donatur. Kemudian setelah terjadi pembuahan baru dimasukkan ke rahim istri pemilik sperma.
Cara ini dilakukan ketika sel telur sang istri terhalang atau tidak berfungsi, akan tetapi rahimnya masih bisa berfungsi untuk tempat perkembangan janin.
Cara ketiga :
Pembuahan di luar yang diproses pada tabung-tabung antara sperma laki-laki dan sel telur dari wanita bukan suami-istri. Kemudian setelah pembuahan terjadi, baru ditanam pada rahim wanita yang sudah berkeluarga.
Cara ini dilakukan ketika ada pasangan suami-isteri yang sama-sama mandul, tetapi ingin punya anak; sedangkan rahim sang istri masih bisa berfungsi sebagai tempat pertumbuhan janin.
Cara keempat :
Pembuahan di luar yang diproses pada tabung antara dua benih pasangan suami istri. Kemudian setelah pembuahan itu berhasil, baru ditanamkan pada rahim wanita lain (bukan istrinya) yang bersedia mengandung janin pasangan suami istri tersebut.
Cara ini dilakukan ketika sang istri tidak mampu mengandung, karena ada kelainan pada rahimnya, sementara organnya masih mampu memproduksi sel telur dengan baik. Cara ini juga ditempuh ketika sang istri tidak mau hamil dengan berbagai alasan. Maka dia meminta atau menyewa wanita lain untuk mengandung bayinya.
Cara kelima :
Yaitu cara yang disebutkan di awal pembahasan ini. Dimana sperma dan sel telur diambil dari pasangan suami istri, lalu setelah mengalami proses pembuahan pada tabung, sel telur yang sudah dibuahi itu dimasukkan ke dalam rahim istri lain dari pemilik sperma. Istri yang lain ini telah menyatakan kesediaannya untuk mengandung janin madunya yang diangkat rahimnya.-pent
Inilah cara-cara inseminasi buatan yang diterapkan untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan proses kehamilan.
Majelis juga sudah memperhatikan berita-berita yang terbesar bahwa proses seperti ini memang benar-benar sudah terjadi di Eropa dan Amerika, memanfaatkan hasil penemuan ilmiyah ini dengan berbagai tujuan. Di antara tujuan itu adalah tujuan bisnis, ada juga untuk tujuan yang mereka sebut dengan “Usaha memperbaiki keturunan manusia”. Ada juga untuk memenuhi keinginan sebagian wanita yang tidak berkeluarga untuk menjadi ibu atau keinginan wanita yang sudah berkeluarga namun tidak bisa hamil dengan sebab-sebab tertentu pada dirinya atau pada suaminya. Majelis sudah memperhatikan berbagai instansi yang merealisasikan berbagai tujuan ini; misalnya pengadaan bank sperma. Sebuah tempat penyimpanan sperma berteknologi sehingga bisa tahan lama. Sperma-sperma ini diambil dari orang-orang tertentu atau tidak tentu, sebagai sumbangan atau untuk mendapatkan imbalan.

HUKUM SYARI’AT TENTANG HAL INI
Setelah memperhatikan materi yang disampaikan panelis dan mendapatkan informasi tambahan yang memadai dari sumber-sumber yang bisa dipertanggung jawabkan seperti berita yang disebarluaskan melalui media massa serta melalui diskusi dalam menerapkan kaidah-kaidah syari’ah dalam masalah ini, akhirnya majelis memutuskan beberapa hal berikut :
Pertama : Hukum-hukum yang bersifat umum :
1. Dalam kondisi bagaimanapun, seorang wanita Muslimah tidak diperbolehkan membuka aurat dihadapan orang yang tidak halal berhubungan badan dengannya, kecuali untuk tujuan yang diperbolehkan syariat.
2. Keinginan wanita untuk sembuh dari suatu penyakit yang dideritanya atau ketidaknormalan (abnormal) pada tubuhnya yang menyebabkannya merasa terganggu, dianggap sebagai sebuah tujuan yang dibenarkan syari’at. Untuk tujuan pengobatan seperti ini, wanita tersebut boleh membuka auratnya kepada selain suaminya. Tentunya hal ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
3. Ketika membuka aurat seorang wanita dihadapan selain orang yang halal berhubungan badan dengannya hukumnya mubah (diperbolehkan) untuk sebuah tujuan yang syar`i, maka wajib yang melakukan pengobatan itu adalah dokter perempuan Muslimah jika memungkinkan. Kalau tidak ada, maka dokter perempuan yang bukan muslimah. Kalau tidak ada, baru dokter laki-laki Muslim dan kalau tidak ada, baru menggunakan tenaga dokter laki-laki yang bukan muslim.

Saat proses pengobatan, tidak diperbolehkan berkhalwat (berdua-duaan) antara dokter laki-laki dengan sang pasien wanita; ia harus didampingi oleh suami pasien atau wanita lain.
Kedua : Hukum inseminasi (pembuahan) buatan
1. Keinginan seorang wanita yang sudah berkeluarga yang tidak bisa hamil dan keinginan sang suami untuk mendapatkan anak dianggap sebagai sebuah tujuan yang dibenarkan syari’at. Tujuan ini bisa dijadikan alasan untuk melakukan pengobatan (jika terkendala-pent) dengan cara-cara inseminasi buatan yang dibenarkan syari’at.
2. Cara (inseminasi buatan yang) pertama (yaitu sperma diambilkan dari seorang lelaki yang sudah berkeluarga lalu diinjeksikan ke dalam rahim sang istri yang dijelaskan pada saat menguraikan cara pembuahan yang terjadi di dalam rahim) merupakan cara yang diperbolehkan menurut syari’at dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan umum yang disebutkan di atas. Ini dilakukan setelah dipastikan bahwa sang istri memerlukan proses ini supaya bisa hamil.
3. Cara ketiga (kedua benih, sperma dan sel telur diambil dari pasangan suami istri; kemudian proses pembuahannya dilakukan pada tabung. Setelah terjadi pembuahan, sel telur yang sudah dibuahi itu dimasukkan ke rahim wanita pemilik sel telur tadi), awalnya cara ini merupakan cara yang bisa diterima menurut tinjauan syari’at. Namun cara ini tidak bisa lepas sama sekali dari berbagai hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan. Maka sebaiknya cara ini tidak ditempuh kecuali ketika sangat terpaksa sekali serta ketentuan-ketentuan umum yang di atas sudah terpenuhi.
4. Pada dua cara yang diperbolehkan ini, majelis Majma’ul Fiqh al Islâmi menetapkan bahwa nasab si anak dihubungkan ke pasangan suami istri pemilik sperma dan sel telur, kemudian diikuti dengan hak waris serta hak-hak lainnya sebagaimana pada penetapan nasab. Ketika nasab ditetapkan pada pasangan suami istri, maka hak waris serta hak-hak lainnya juga ditetapkan antara si anak dengan orang yang memiliki hubungan nasab dengannya.
5. Sedangkan cara-cara inseminasi buatan lainnya dalam proses pembuahan di dalam dan di luar rahim yang telah dijelaskan di depan; merupakan cara-cara yang diharamkan dalam syari’at Islam, tidak ada alasan untuk memperbolehkan salah satunya. Karena kedua benih, sperma dan sel telur dalam proses tersebut tidak berasal dari satu pasangan suam istri. Atau karena wanita yang menyatakan kesediaannya untuk mengandung janin tersebut adalah wanita ajnabiyah (orang lain).

Demikian keputusan ini, dan dengan memperhatikan berbagai kemungkinan yang terjadi pada inseminasi buatan secara umum, termasuk pada dua cara yang diperbolehkan secara syar’i di atas; seperti kemungkinan terjadinya penyampuran sperma atau sel telur yang sudah dibuahi pada tabung, terutama ketika inseminasi buatan ini sudah banyak dilakukan dan tersebar luar, maka majelis Majma’ul Fiqh al Islâmi memberikan nasehat kepada orang-orang yang ingin berpegang teguh dengan agama mereka untuk tidak melakukan cara-cara ini. Kecuali ketika sangat terpaksa disertai dengan extra hati-hati dan kewaspadaan yang tinggi agar jangan sampai terjadi percampuran sperma atau sel telur yang sudah dibuahi.
Inilah pandangan majelis Majma’ Fiqh al Islami tentang masalah ini yang sangat berkaitan dengan agama. Dengan memohon kepada Allah k agar apa yang ditetapkan ini benar. Wallahu a’lam.
Ringkasan dari fatwa di atas
-Bayi tabung haram jika sumbernya selnya tidak berasal dari sepasang suami istri yang sah, dan haram jika tempat menaruhnya hasil pembuahannya bukan di rahim istri.
-Bayi tabung boleh jika sumbernya selnya berasal dari sepasang suami istri yang sah dengan penekanan merupakan jalan paling terakhir yang ditempuh.
-Salah satu alasan diperbolekan adalah untuk pengobatan dan penyembuhan penyakit mandul
-Sangat diupayakan bahwa yang melakukan operasi bagi wanita dengan urutan prioritas pertama dokter wanita muslim, dokter wanita non-muslim, dokter laki-laki muslim dan dokter laki-laki non-muslim

Silahkan memilih
Demikianlah kita melihat ada perbedaan pendapat diantara para ulama, mereka menimbang mana yang lebih besar mashlahat dan mafsadatnya. Silahkan memilih pendapat yang mana lebih anda tenang padanya berdasarkan ilmu. Karena kemandulan adalah salah satu penyakit dan jika bisa diobati maka bisa dilakukan pengobatan tersebut, sebagaimana operasi pembedahan penyakit jantung dan hati. Dimana semua operasi umumnya membuka aurat.
Misalnya salah satu contoh penyakit mandul, yaitu ovarium yang menghasilkan sel telur berfungsi dengan baik, kemudian rahim berfungsi dengan baik juga, akan tetapi saluran tuba yang menghubungan keduanya mengalami kerusakan seperti ada kista, penyempitan dan sumbatan. Maka tidak akan bisa terjadi kehamilan.
Demikian juga Fatwa MUI yang selaras dengan fatwa Majlis al-Majma’ul-Fiqh al-Islami. Bayi tabung juga sudah diatur dalam UU negara mengenai status dan pewarisan.