Faktor utama yang menyebabkan hadits-hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam kelihatan seolah-olah bertentangan ialah karena kedangkalan ilmu orang
yang mendakwa sedemikian. Yang mendakwa sebenarnya tidak tahu membedakan antara
hadits sahih dan dhaif, hadits yang sah dan yang telah dibatalkan,
kaedah-kaedah tarjih dan maksud sebenar sesuatu hadits.
Abu Bakar al-Shairafi[1] menukil dari
Muhammad bin Idris al-Shafi‘i[2] bahwa: Selamanya tidak akan mungkin terjadi pertentangan
antara dua hadits yang sahih – salah satu meniadakan yang lainnya baik dalam
bentuk ‘am (umum maksudnya) – khasnya (khusus maksudnya) dan
ijmal – tafsirnya. Kecuali dalam bentuk nasikh – mansukh apabila dapat
diketahui masa datangnya.[3]
Ibn Hazm berkata[4] Tidak akan terjadi pertentangan sedikitpun dalam
al-Qur’an dan hadits. Pertentangan hanya terjadi karena keterbatasan ilmu
pengetahuan kita.[5]
Abu Ishaq al-Syatibi[6] berkata: Perselisihan tersebut (antara
dalil-dalil syara’) timbul karena kelemahan mereka dalam memahami dan menemukan
tujuan-tujuan Allah yang terkandung dalam nas-nas-Nya, bukan karena adanya pertentangan
dalam dalil-dalil syara’ sendiri secara hakiki.[7]
Ibn al-Qayyim berkata[8]: Sekelompok orang menduga bahawa ada hadits-hadits Nabi
yang berlawanan dengan hadits-hadits lainnya, saling menggugur dan
bertentangan. Kami berpendapat bahawa tidak akan ada pertentangan antara hadits-hadits
sahih.
Apabila terjadi pertentangan, mungkin salah satunya
bukan bersumber daripada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa perawi
bisa saja khilaf dalam hal ini. Jika dia
bersifat terpercaya (yakni isnadnya kuat-), mungkin salah satu hadits menasakh hadits
lainnya jika memang ia dapat dinasakhkan, atau mungkin pertentangan tersebut
hanya menurut pemahaman para rawi hadits (orang yang mendengarnya-), bukan karena
sabda Nabi itu sendiri.
Tiga kemungkinan inilah yang dapat terjadi. Apabila
terdapat dua hadits sahih yang saling bertentangan dalam seluruh isinya (dan)
salah satu darinya dapat menasakh yang lainnya, maka ini tidak perlu
diselaraskan (karena pertentangan telah dihilangkan).
Tidak ada ucapan yang keluar dari bibir Rasulullah
kecuali ucapan yang benar. Kesalahan terjadi karena kelemahan kita dalam
mengetahui sesuatu dalil, atau kelemahan kita untuk membedakan hadits sahih dan
tidak sahih, atau karena kelemahan kita dalam memahami maksud (tujuan) sabda
Nabi, atau pemahaman kita yang tidak sejalan dengan kehendak beliau.[9]
Muhammad Wafa [10] menulis: Jelas bagi kita
bahawa pertentangan mutlak tidak mungkin terjadi secara hakiki di antara dalil
syara’ karena semuanya bersumber daripada Allah yang Maha Bijaksana. Tidak
mungkin daripada-Nya datang dua dalil yang saling bertentangan melibatkan
waktu, objek dan pelaku yang sama. Ini sangatlah kontradiktif. Pertentangan
merupakan tanda kejahilan dan kelemahan. Allah tidak mungkin bersikap demikian.
Oleh itu dapat disimpulkan bahawa tidak ada pertentangan antara dalil-dalil qath‘i
(yang jelas) dan antara dalil-dalil zanni (samar-samar), juga antara firman
Allah sendiri dengan sabda Nabi karena sabda Nabi adalah termasuk wahyu Allah.
Apabila terjadi pertentangan antara dalil-dalil syara’, maka itu hanyalah
menurut pandangan dan pemikiran para mujtahid sahaja. Ini karena perbedaan
penemuan dan kekuatan pemahaman yang dimilikinya. Ini adalah pertentangan
bersifat fiktif yang timbul menurut pandangan dan pemikiran para mujtahid saja,
karena ketidaktahuan mereka terhadap masa datangnya dua dalil yang saling
bertentangan tersebut, atau karena kesalahan mereka dalam memahami maksud dan
tujuan dalil-dalil tersebut, atau karena ketidaktahuan mereka terhadap
cara-cara tarjih dan menyelaras dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut.[11]
***
[1]Beliau ialah Imam Muhammad ibn
Abdillah al-Shairafi, seorang tokoh besar yang paling alim dalam bidang usul
selepas al-Shafi‘i. Antara karyanya yang unggul ialah al-Bayan fi Dalail al
I’lam ‘ala Usul al-Ahkam fi Usul al-Fiqh dan Syarh al-Risalah li
al-Shafi‘i. Meninggal dunia pada tahun 330H.
[2]Beliau terkenal dengan gelaran
Imam al-Shafi‘i, kepada beliau disandarkan Mazhab
Shafi‘i. Dilahirkan di Gizza, Palestina dan berhijrah ke Mekah, Madinah,
Baghdad, Yaman, Mesir dan banyak lagi untuk menuntut dan menyampaikan ilmu.
Meninggal dunia di Mesir pada tahun 204H.
[3] Diutarakan oleh al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul, ms
275; dikemukakan oleh M. Wafaa dalam Metode Tarjih, ms 53.
[4] Beliau ialah Imam ‘Ali bin
Ahmad bin Said bin Hazm, seorang tokoh besar dunia Islam yang berasal dari
Cordova, Spanyol. Karya-karyanya menjadi bahan kajian dan perbandingan oleh
lain-lain tokoh Islam sepanjang zaman dari pelbagai mazhab. Meninggal dunia
pada tahun 456H.
[5] al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, jld
2, ms 204-205; dikemukakan oleh M. Wafaa dalam Metode Tarjih, ms
55-56.
[6]Beliau ialah Imam Ibrahim bin
Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharmati, seorang tokoh besar dunia Islam yang
berasal dari Kordova, Spanyol. Antara karya beliau yang masyhur ialah al-Muwafaqat
fi Usul al-Syari‘ah di mana beliau membincangkan usul-usul syari‘at dari
sudut maksud, tujuan dan objektifnya. Apa yang diusulkan oleh beliau kini
menjadi perhatian para mujthid, ilmuan dan pemikiran Islam bagi memecahkan
belenggu kebuntuan fiqh. Namun masih ada segelintir yang enggan menerima apa
yang diusulkan oleh al-Syatibi semata-mata karena beliau ialah seorang tokoh
dalam Mazhab Maliki manakala mereka pula (yang enggan) adalah dari Mazhab lain.
Al-Syatibi meninggal dunia pada tahun 790H.
[7] al-Muwafaqat fi Usul
al-Syari‘ah, jld 4, ms 123-131; dikemukakan oleh M. Wafaa dalam Metode Tarjih,
ms 62.
[8] Beliau ialah Imam Shamsuddin
Muhammad bin Abu Bakar bin Ayub al-Dimisqi, seorang tokoh besar Islam di kurun
ke 8 hijrah, murid Ibn Taimiyah (728H), penyusun puluhan buah kitab dan
risalah. Lahir dan meninggal dunia di Damaskus pada tahun 751H.
[9]Zaad al-Ma‘ad , jld 3, ms 112; dikemukakan oleh M. Wafaa
dalam Metode Tarjih, ms 53
[10]Beliau
ialah seorang dosen di Universiti Asyouth, Kaherah, Mesir dalam Fakultas
Syari‘ah. Antara ahli fiqh yang ulung masa kini, telah mengarang buku-buku usul
fiqh setebal 4 jilid, yang pertama tentang dasar-dasar syari‘at, yaitu
al-Qur‘an dan al-Sunnah (Dilalat al-Awamir wa al-Nawahi fi al-Kitab wa
al-Sunnah), kedua tentang dasar-dasar penetapan hukum syari‘at (Dilalat
al-Kitab al-Syar‘i ‘ala al-Hukmi: al-Manthuq wa al-Mafhum), ketiga tentang
bab Nasikh dan Mansukh (Ahkam al-Naskhi fi al-Syari‘at al-Islamiyah)
dan keempat tentang kaedah menyelaras antara dalil-dalil yang bertentangan (Ta‘arudh
al-‘Adillati al-Syari‘at min al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Tarjih Bainaha).
Buku keempat ini telah diterjemahkan sebagai Metode Tarjih atas Kontradiksi
Dalil-dalil Syara’
No comments:
Post a Comment