Mar 2, 2014

Kenapa ada hadits-hadits yang nampak seolah-olah bertentangan ?



           Faktor utama yang menyebabkan hadits-hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam kelihatan seolah-olah bertentangan ialah karena kedangkalan ilmu orang yang mendakwa sedemikian. Yang mendakwa sebenarnya tidak tahu membedakan antara hadits sahih dan dhaif, hadits yang sah dan yang telah dibatalkan, kaedah-kaedah tarjih dan maksud sebenar sesuatu hadits.
Abu Bakar al-Shairafi[1] menukil dari Muhammad bin Idris al-Shafi‘i[2] bahwa: Selamanya tidak akan mungkin terjadi pertentangan antara dua hadits yang sahih – salah satu meniadakan yang lainnya baik dalam bentuk ‘am (umum maksudnya) – khasnya (khusus maksudnya) dan ijmal – tafsirnya. Kecuali dalam bentuk nasikh – mansukh apabila dapat diketahui masa datangnya.[3]
Ibn Hazm berkata[4] Tidak akan terjadi pertentangan sedikitpun dalam al-Qur’an dan hadits. Pertentangan hanya terjadi karena keterbatasan ilmu pengetahuan kita.[5]
Abu Ishaq al-Syatibi[6] berkata: Perselisihan tersebut (antara dalil-dalil syara’) timbul karena kelemahan mereka dalam memahami dan menemukan tujuan-tujuan Allah yang terkandung dalam nas-nas-Nya, bukan karena adanya pertentangan dalam dalil-dalil syara’ sendiri secara hakiki.[7]
Ibn al-Qayyim berkata[8]: Sekelompok orang menduga bahawa ada hadits-hadits Nabi yang berlawanan dengan hadits-hadits lainnya, saling menggugur dan bertentangan. Kami berpendapat bahawa tidak akan ada pertentangan antara hadits-hadits sahih.
Apabila terjadi pertentangan, mungkin salah satunya bukan bersumber daripada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa perawi bisa saja  khilaf dalam hal ini. Jika dia bersifat terpercaya (yakni isnadnya kuat-), mungkin salah satu hadits menasakh hadits lainnya jika memang ia dapat dinasakhkan, atau mungkin pertentangan tersebut hanya menurut pemahaman para rawi hadits (orang yang mendengarnya-), bukan karena sabda Nabi itu sendiri.
Tiga kemungkinan inilah yang dapat terjadi. Apabila terdapat dua hadits sahih yang saling bertentangan dalam seluruh isinya (dan) salah satu darinya dapat menasakh yang lainnya, maka ini tidak perlu diselaraskan (karena pertentangan telah dihilangkan).
Tidak ada ucapan yang keluar dari bibir Rasulullah kecuali ucapan yang benar. Kesalahan terjadi karena kelemahan kita dalam mengetahui sesuatu dalil, atau kelemahan kita untuk membedakan hadits sahih dan tidak sahih, atau karena kelemahan kita dalam memahami maksud (tujuan) sabda Nabi, atau pemahaman kita yang tidak sejalan dengan kehendak beliau.[9]
           Muhammad Wafa [10] menulis: Jelas bagi kita bahawa pertentangan mutlak tidak mungkin terjadi secara hakiki di antara dalil syara’ karena semuanya bersumber daripada Allah yang Maha Bijaksana. Tidak mungkin daripada-Nya datang dua dalil yang saling  bertentangan melibatkan waktu, objek dan pelaku yang sama. Ini sangatlah kontradiktif. Pertentangan merupakan tanda kejahilan dan kelemahan. Allah tidak mungkin bersikap demikian. Oleh itu dapat disimpulkan bahawa tidak ada pertentangan antara dalil-dalil qath‘i (yang jelas) dan antara dalil-dalil zanni (samar-samar), juga antara firman Allah sendiri dengan sabda Nabi karena sabda Nabi adalah termasuk wahyu Allah.
            Apabila terjadi pertentangan antara dalil-dalil syara’, maka itu hanyalah menurut pandangan dan pemikiran para mujtahid sahaja. Ini karena perbedaan penemuan dan kekuatan pemahaman yang dimilikinya. Ini adalah pertentangan bersifat fiktif yang timbul menurut pandangan dan pemikiran para mujtahid saja, karena ketidaktahuan mereka terhadap masa datangnya dua dalil yang saling bertentangan tersebut, atau karena kesalahan mereka dalam memahami maksud dan tujuan dalil-dalil tersebut, atau karena ketidaktahuan mereka terhadap cara-cara tarjih dan menyelaras dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut.[11]
***
 [1]Beliau ialah Imam Muhammad ibn Abdillah al-Shairafi, seorang tokoh besar yang paling alim dalam bidang usul selepas al-Shafi‘i. Antara karyanya yang unggul ialah al-Bayan fi Dalail al I’lam ‘ala Usul al-Ahkam fi Usul al-Fiqh dan Syarh al-Risalah li al-Shafi‘i. Meninggal dunia pada tahun 330H.  
[2]Beliau terkenal dengan gelaran Imam al-Shafi‘i, kepada beliau disandarkan Mazhab Shafi‘i. Dilahirkan di Gizza, Palestina dan berhijrah ke Mekah, Madinah, Baghdad, Yaman, Mesir dan banyak lagi untuk menuntut dan menyampaikan ilmu. Meninggal dunia di Mesir pada tahun 204H.
[3] Diutarakan oleh al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul, ms 275; dikemukakan oleh M. Wafaa dalam Metode Tarjih, ms 53.
[4] Beliau ialah Imam ‘Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, seorang tokoh besar dunia Islam yang berasal dari Cordova, Spanyol. Karya-karyanya menjadi bahan kajian dan perbandingan oleh lain-lain tokoh Islam sepanjang zaman dari pelbagai mazhab. Meninggal dunia pada tahun 456H.
[5] al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, jld 2, ms 204-205; dikemukakan oleh M. Wafaa dalam Metode Tarjih, ms 55-56.
 [6]Beliau ialah Imam Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharmati, seorang tokoh besar dunia Islam yang berasal dari Kordova, Spanyol. Antara karya beliau yang masyhur ialah al-Muwafaqat fi Usul al-Syari‘ah di mana beliau membincangkan usul-usul syari‘at dari sudut maksud, tujuan dan objektifnya. Apa yang diusulkan oleh beliau kini menjadi perhatian para mujthid, ilmuan dan pemikiran Islam bagi memecahkan belenggu kebuntuan fiqh. Namun masih ada segelintir yang enggan menerima apa yang diusulkan oleh al-Syatibi semata-mata karena beliau ialah seorang tokoh dalam Mazhab Maliki manakala mereka pula (yang enggan) adalah dari Mazhab lain. Al-Syatibi meninggal dunia pada tahun 790H.
[7] al-Muwafaqat fi Usul al-Syari‘ah, jld 4, ms 123-131; dikemukakan oleh M. Wafaa dalam Metode Tarjih, ms 62.
[8] Beliau ialah Imam Shamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Ayub al-Dimisqi, seorang tokoh besar Islam di kurun ke 8 hijrah, murid Ibn Taimiyah (728H), penyusun puluhan buah kitab dan risalah. Lahir dan meninggal dunia di Damaskus pada tahun 751H.
[9]Zaad al-Ma‘ad , jld 3, ms 112; dikemukakan oleh M. Wafaa dalam Metode Tarjih, ms 53
[10]Beliau ialah seorang dosen di Universiti Asyouth, Kaherah, Mesir dalam Fakultas Syari‘ah. Antara ahli fiqh yang ulung masa kini, telah mengarang buku-buku usul fiqh setebal 4 jilid, yang pertama tentang dasar-dasar syari‘at, yaitu al-Qur‘an dan al-Sunnah (Dilalat al-Awamir wa al-Nawahi fi al-Kitab wa al-Sunnah), kedua tentang dasar-dasar penetapan hukum syari‘at (Dilalat al-Kitab al-Syar‘i ‘ala al-Hukmi: al-Manthuq wa al-Mafhum), ketiga tentang bab Nasikh dan Mansukh (Ahkam al-Naskhi fi al-Syari‘at al-Islamiyah) dan keempat tentang kaedah menyelaras antara dalil-dalil yang bertentangan (Ta‘arudh al-‘Adillati al-Syari‘at min al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Tarjih Bainaha). Buku keempat ini telah diterjemahkan sebagai Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’
[11]Metode Tarjih, ms 66-67.

No comments:

Post a Comment