Mar 10, 2014

MENYIKAPI KETENTUAN DAN TAKDIR ALLAH



Orang yang menolak qadar dan qadha terbagi dalam beberapa kategori:
Pertama: Mereka yang menolak qadar dan qadha secara keseluruhan.
Ini berarti mereka mengingkari sekian banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam subjek qadar dan qadha. Berarti mereka menafikan kekuasaan al-Rububiyyah Allah Subhanahu waTa'ala yang mengetahui, menghendaki, mencipta dan mengatur segala urusan manusia.
Pengingkaran dan penafian ini menyebabkan orang yang menolak qadar dan qadha secara keseluruhan dihukum kafir. Ubadah bin Shamit (radhiallahu 'anh) pernah berkata kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ
لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ
فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ. قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ.
يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا
فَلَيْسَ مِنِّي.
Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan hakikat iman sehingga engkau mengetahui bahwa apa yang (ditaqdirkan) menimpamu pasti tidak akan meleset daripadamu, dan apa yang (ditaqdirkan) meleset daripadamu pasti tidak akan menimpamu.
Aku mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya (makhluk) yang awal Allah ciptakan ialah pena lalu Allah berfirman kepadanya: “Tulislah”. Pena bertanya: “Wahai tuhanku, apakah yang patut aku tulis?” Allah menjawab: “Tulislah taqdir segala sesuatu sehingga datangnya Hari Kiamat.”
Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesiapa yang mati di atas keyakinan yang berlainan dengan ini, maka dia bukan dari kalangan (umat)ku.”(1)
Dalam sebuah riwayat yang lain:
عَنْ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ: أَتَيْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ لَهُ: وَقَعَ فِي نَفْسِي شَيْءٌ
مِنْ الْقَدَرِ فَحَدِّثْنِي بِشَيْءٍ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُذْهِبَهُ مِنْ قَلْبِي.
قَالَ: لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ،
وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ.
قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَحَدَّثَنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ.
Ibn al-Dailami (seorang tabi’in) berkata: “Saya datang kepada Ubay bin Ka’ab, lalu saya berkata kepada beliau: “Dalam diriku terjadi penyakit ragu terhadap takdir. Maka ceritakanlah kepadaku sesuatu yang dengannya Allah akan melenyapkan keraguan itu dari dalam hatiku.”
Ubay menjawab: “Kalaulah Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan penghuni bumi-Nya, maka Allah menyiksa mereka bukan karena zalim kepada mereka. Dan kalaulah Allah memberikan rahmat kepada mereka semuanya, maka rahmat Allah jauh lebih baik dari semua amal mereka.
Seandainya engkau bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerima sedekahmu itu sebelum engkau beriman kepada taqdir. Dan ketahuilah bahwa apa yang (ditaqdirkan) menimpamu pasti tidak akan meleset daripadamu, sedangkan apa yang (ditaqdirkan) meleset daripadamu pasti tidak akan menimpamu. Seandainya engkau mati dengan (keyakinan) selain ini (berkenaan taqdir), niscaya engkau masuk ke dalam neraka.”
Ibn al-Dailami selanjutnya berkata: “Kemudian saya datang kepada Abdullah bin Mas’ud, beliau pun berkata seperti (perkataan Ubay bin Ka’ab).” Ibn al-Dailami berkata lagi: “Kemudian aku datang pula kepada Hudzaifah bin al Yaman, beliau pun berkata seperti (perkataan Ubay bin Ka’ab).” Ibn al-Dailami berkata lagi: “Kemudian aku juga datang kepada Zaid bin Tsabit, beliau pun membawakan hadits kepadaku daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti (perkataan Ubay bin Ka’ab).” (2)
Kedua: Mereka yang beriman kepada qadar dan qadha namun memiliki pentafsiran dan pentakwilan yang berbeda.
Di antara mereka ada yang berkata qadar dan qadha bersifat umum, perinciannya ditentukan oleh manusia. Ada pula yang berkata qadar dan qadha bersifat mengikat sehingga manusia hanya berdiam diri terhadap apa jua yang menimpa mereka. Sepanjang sejarah umat Islam terdapat pelbagai tafsiran dan takwilan berkenaan qadar dan qadha, tanpa terbatas kepada dua contoh di atas.
Golongan kedua ini memiliki pentafsiran dan pentakwilan yang berbeda dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Mereka dihukum sesat karena mengambil jalan yang berbeda dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.
Ketiga: Mereka yang beriman kepada qadar dan qadha berdasarkan kefahaman Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.
Namun kadangkala mereka meragukan apa yang Allah taqdirkan ke atas mereka atau bertanya-tanya mengapa Allah mentaqdirkan sekian-sekian ke atas mereka.
Golongan ketiga ini tidak dihukum kafir maupun sesat, namun dikatakan iman mereka ketika meragu atau bertanya-tanya itu berada dalam keadaan lemah. Di sisi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, iman bisa bertambah dan berkurang. Ia bertambah dengan keyakinan dan amal shalih, berkurang dengan keraguan dan kerja maksiat.
Bertanya tentang taqdir dengan maksud mempersoalkan mengapa Allah mentaqdirkan sekian-sekian adalah sesuatu yang dilarang sebagaimana firman-Nya:
لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia (Allah) tidak boleh ditanya tentang apa yang Dia lakukan, sedang merekalah yang akan ditanya kelak. [al-Anbiya’ 21:23]
Akan tetapi kadangkala apabila seseorang itu ditimpa musibah atau sesuatu yang dibencinya, tanpa disedari dia bertanya atau merungut kenapa Allah mentaqdirkan yang sedemikian ke atasnya? Pertanyaan atau rungutan seperti ini berawal dari iman yang rendah pada saat itu.
***
(1) Sahih: Dikeluarkan oleh Abu Daud dan beliau mendiamkannya. Ia dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, no: 4700 (Kitab al-Sunnah, Bab al-Qadar).
(2) Sahih: Dikeluarkan oleh Abu Daud dan beliau mendiamkannya. Ia dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, no: 4699 (Kitab al-Sunnah, Bab al-Qadar).

No comments:

Post a Comment