Orang
yang menolak qadar dan qadha terbagi dalam beberapa kategori:
Pertama: Mereka yang menolak qadar
dan qadha secara keseluruhan.
Ini
berarti mereka mengingkari sekian banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam dalam subjek qadar dan qadha. Berarti mereka
menafikan kekuasaan al-Rububiyyah Allah Subhanahu waTa'ala yang mengetahui,
menghendaki, mencipta dan mengatur segala urusan manusia.
Pengingkaran
dan penafian ini menyebabkan orang yang menolak qadar dan qadha secara
keseluruhan dihukum kafir. Ubadah bin Shamit (radhiallahu 'anh) pernah berkata
kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الإِيمَانِ
حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ
لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ
فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ. قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ:
اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ.
يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا
فَلَيْسَ مِنِّي.
Wahai
anakku, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan hakikat iman sehingga engkau
mengetahui bahwa apa yang (ditaqdirkan) menimpamu pasti tidak akan meleset
daripadamu, dan apa yang (ditaqdirkan) meleset daripadamu pasti tidak akan
menimpamu.
Aku
mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya
(makhluk) yang awal Allah ciptakan ialah pena lalu Allah berfirman kepadanya:
“Tulislah”. Pena bertanya: “Wahai tuhanku, apakah yang patut aku tulis?” Allah
menjawab: “Tulislah taqdir segala sesuatu sehingga datangnya Hari Kiamat.”
Wahai
anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda: “Sesiapa yang mati di atas keyakinan yang berlainan dengan ini, maka
dia bukan dari kalangan (umat)ku.”(1)
Dalam
sebuah riwayat yang lain:
عَنْ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ: أَتَيْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ
فَقُلْتُ لَهُ: وَقَعَ فِي نَفْسِي شَيْءٌ
مِنْ الْقَدَرِ فَحَدِّثْنِي بِشَيْءٍ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ
يُذْهِبَهُ مِنْ قَلْبِي.
قَالَ: لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ
سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ
رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ،
وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا
قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا
أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ
لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ.
قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
مَسْعُودٍ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ.
قَالَ:
ثُمَّ أَتَيْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ فَقَالَ
مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَحَدَّثَنِي عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ.
Ibn
al-Dailami (seorang tabi’in) berkata: “Saya datang kepada Ubay bin Ka’ab, lalu
saya berkata kepada beliau: “Dalam diriku terjadi penyakit ragu terhadap
takdir. Maka ceritakanlah kepadaku sesuatu yang dengannya Allah akan melenyapkan
keraguan itu dari dalam hatiku.”
Ubay
menjawab: “Kalaulah Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan penghuni
bumi-Nya, maka Allah menyiksa mereka bukan karena zalim kepada mereka. Dan
kalaulah Allah memberikan rahmat kepada mereka semuanya, maka rahmat Allah jauh
lebih baik dari semua amal mereka.
Seandainya
engkau bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, niscaya Allah
tidak akan menerima sedekahmu itu sebelum engkau beriman kepada taqdir. Dan
ketahuilah bahwa apa yang (ditaqdirkan) menimpamu pasti tidak akan meleset
daripadamu, sedangkan apa yang (ditaqdirkan) meleset daripadamu pasti tidak
akan menimpamu. Seandainya engkau mati dengan (keyakinan) selain ini (berkenaan
taqdir), niscaya engkau masuk ke dalam neraka.”
Ibn
al-Dailami selanjutnya berkata: “Kemudian saya datang kepada Abdullah bin
Mas’ud, beliau pun berkata seperti (perkataan Ubay bin Ka’ab).” Ibn al-Dailami
berkata lagi: “Kemudian aku datang pula kepada Hudzaifah bin al Yaman, beliau
pun berkata seperti (perkataan Ubay bin Ka’ab).” Ibn al-Dailami berkata lagi:
“Kemudian aku juga datang kepada Zaid bin Tsabit, beliau pun membawakan hadits
kepadaku daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti (perkataan Ubay
bin Ka’ab).” (2)
Kedua: Mereka yang beriman kepada qadar
dan qadha namun memiliki pentafsiran dan pentakwilan yang berbeda.
Di
antara mereka ada yang berkata qadar dan qadha bersifat umum, perinciannya
ditentukan oleh manusia. Ada pula yang berkata qadar dan qadha bersifat
mengikat sehingga manusia hanya berdiam diri terhadap apa jua yang menimpa
mereka. Sepanjang sejarah umat Islam terdapat pelbagai tafsiran dan takwilan
berkenaan qadar dan qadha, tanpa terbatas kepada dua contoh di atas.
Golongan
kedua ini memiliki pentafsiran dan pentakwilan yang berbeda dengan Ahl
al-Sunnah wa al-Jamaah. Mereka dihukum sesat karena mengambil jalan yang berbeda
dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.
Ketiga: Mereka yang beriman kepada
qadar dan qadha berdasarkan kefahaman Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.
Namun
kadangkala mereka meragukan apa yang Allah taqdirkan ke atas mereka atau bertanya-tanya
mengapa Allah mentaqdirkan sekian-sekian ke atas mereka.
Golongan
ketiga ini tidak dihukum kafir maupun sesat, namun dikatakan iman mereka ketika
meragu atau bertanya-tanya itu berada dalam keadaan lemah. Di sisi Ahl al-Sunnah
wa al-Jamaah, iman bisa bertambah dan berkurang. Ia bertambah dengan keyakinan
dan amal shalih, berkurang dengan keraguan dan kerja maksiat.
Bertanya
tentang taqdir dengan maksud mempersoalkan mengapa Allah mentaqdirkan
sekian-sekian adalah sesuatu yang dilarang sebagaimana firman-Nya:
لاَ يُسْأَلُ
عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia
(Allah) tidak boleh ditanya tentang apa yang Dia lakukan, sedang merekalah yang
akan ditanya kelak. [al-Anbiya’ 21:23]
Akan
tetapi kadangkala apabila seseorang itu ditimpa musibah atau sesuatu yang
dibencinya, tanpa disedari dia bertanya atau merungut kenapa Allah mentaqdirkan
yang sedemikian ke atasnya? Pertanyaan atau rungutan seperti ini berawal dari
iman yang rendah pada saat itu.
***
(1) Sahih: Dikeluarkan oleh Abu Daud
dan beliau mendiamkannya. Ia dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan
Abu Daud, no: 4700 (Kitab al-Sunnah, Bab al-Qadar).
(2) Sahih: Dikeluarkan oleh Abu Daud
dan beliau mendiamkannya. Ia dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan
Abu Daud, no: 4699 (Kitab al-Sunnah, Bab al-Qadar).
No comments:
Post a Comment