Sep 30, 2013

Makna Syahadat menjawab: Kenapa Pintu Gerbang Keislaman adalah Syahadat



Apa makna syahadat لا إله إلا الله?
a>    Tiada Tuhan Selain Allah
b>    Tiada Tuhan yang Berhak Disembah Selain Allah

Kebanyakan muslim Indonesia akan menjawab a, padahal yang benar adalah b. Untuk memahami kenapa makna ini bisa salah besar memerlukan dasar-dasar bahasa Arab. Sedangkan kaum muslimin khususnya di Indonesia, hampir sebagian besar belum memiliki dasar-dasar bahasa Arab yang cukup. Padahal ini adalah masalah yang paling penting yaitu syahadat, tabir pemisah antara Islam dan kekafiran. Dan kesalahan fatal ini sudah tersebar luas, di televisi [saat adzan], di papan jalan-jalan, di buku-buku kurikulum pendidikan agama islam dari TK-perguruan tinggi.

Bukti Mengapa Memaknai Syahadat [لا إله إلا الله] Dengan “Tiada Tuhan Selain Allah” Adalah Salah Besar

Bukti pertama
Ini bagi mereka yang belum mempelajari bahasa Arab. Perlu diketahui, jika mengartikan syahadat dengan “tiada tuhan selain Allah” yaitu khususnya makna rububiyah bahwa,
“Tiada tuhan yang pencipta alam semesta, memberi rezeki dan mengatur alam semesta selain Allah”
Maka Abu Lahab, Abu Jahal dan orang-orang kafir Quraisy juga mengakui hal tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha mendakwahi dan kemudian memerangi mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” [QS. Az-Zukhruf: 87]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah berkata,
أي: ولئن سألت المشركين عن توحيد الربوبية، ومن هو الخالق، لأقروا أنه الله وحده لا شريك له.

“Yaitu, jika engkau [Muhammad] bertanya kepada orang-orang musyrik tentang tauhid rububiyah dan siapakah pencipta, maka sungguh mereka akan mengakui bahwasanya dialah Allah semata dan tiada sekutu baginya.” [Taisir Karimir Rahmah hal. 737, Dar Ibnu Hazm, Beirut, Cet. Ke-1,1424 H]
Silahkan lihat juga surat  Yunus ayat ke-31 dan Al-’Ankabut ayat ke-63.
Kemudian, mereka orang kafir Quraisy menyembah berhala-berhala mereka,  bukanlah bermaksud menyembah mereka sebagai tuhan yang sesungguhnya, tetapi anggapan mereka bahwa:
1. Berhala-berhala tersebut sebagai perantara menyampaikan doa mereka kepada Allah dan bisa mendekatkan diri/taqarrub kepada Allah
Sebagian berhala di antara berhala-berhala mereka dulunya adalah orang shalih, kemudian dibuatlah patung/lambang orang-orang yang shalih tersebut. Contohnya adalah Latta, yaitu orang shalih yang dahulunya menggiling tepung dan memberi makan orang yang haji ke Mekkah. Awalnya patungnya dibuat untuk mengenangnya, tetapi datang generasi seterusnya yang kurang ilmu akhirnya jadilah patung Latta disembah sampai zaman Quraisy. Karena orang-orang kafir Quraisy membuat kias yang salah. Jika kita ingin dekat dan bertemu dengan raja, maka orang yang papa harus ada wasilah/channel berupa menteri atau orang yang dekat dengan raja. Sedangkan Allah tidak butuh perantara dan Maha Mendengar doa.
Inilah perkataan mereka,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. [Az-Zumar: 3]
2. Berhala-berhala tersebut bisa memberikan syafaat kepada mereka kelak.
Mereka berharap orang-orang shalih, malaikat dan para Nabi yang dilambangkan dengan patung berhala-berhala tersebut bisa memberikan syafaat kelak, karena mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah. Mereka orang-orang kafir Quraisy berkata,
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. [Yunus: 18]
Inilah yang manjadi kaidah kedua dalam kitab tauhid Qowa’idul Arba’ syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
القاعدة الثانية: أنهم يقولون: ما دعوناهم وتوجهنا إليهم إلا لطلب القربة والشفاعة.
“Kaidah kedua: bahwasanya mereka [orang-orang kafir Quraisy] berkata, “tidaklah kami berdoa dan menghadapkannya kepada mereka [berhala-berhala] melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meminta syafaat.”
Maka jika orang yang dilaknat di Al-Quran dan dibaca sampai kiamat yaitu Abu Lahab, dia tahu makna syahadat la ilaha illallah, sehingga abu Lahab menolak dan mengingkarinya.

Bukti kedua
Memahami makna huruf nafi’ [لا] “laa” yaitu [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi”
Dalam bahasa Arab ada huruf nafi’ [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi” yang dia bermaksud menafi’kan/ meniadakan semua anggota cakupannya tanpa terkecuali.
Contoh:
لا حيوان في البيت
“tidak ada hewan dirumah
Maka dengan “laa naafiah liljinsi”, maka semua jenis hewan apapun tidak ada dirumah. Baik itu kecoa, tikus-tikus dan lain-lain.
Berbeda dengan ucapan orang Indonesia,
“Masuk saja ke dalam rumah, tidak ada hewan apapun dirumah, tidak usah takut”
Maka ini ini menafi’kan/meniadakan yang biasa, tidak menafi’kan semua jenis hewan, yaitu tidak ada sama sekali hewan didalam rumah, ia paham bahwa dirumah ada juga hewan-hewan lain misalnya kecoa, tikus, semut dan sebagainya. Tetapi ia maksudkan adalah hewan-hewan besar yang teranggap seperti anjing atau kucing.
Begitu juga dengan perkataan orang Arab,
لا شارع مزدحما
“tidak ada jalan yang padat/ramai
huruf [لا] “laa” disini adalah “laa Naafiah” biasa bukan [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi”, maka bukan maksudnya menafi’kan seluruh jalan tanpa terkecuali tidak padat atau sepi, Tetapi ada juga jalan lain yang padat/ramai
Nah, begitu juga kita memahami kalimat syahadat [لا إله إلا الله] bahwa huruf [لا] “laa” disitu adalah [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi”
Jika kita katakan,
“tidak ada tuhan selain Allah”
Ingat, kita pahami dengan makna peniadaan [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi” yang artinya menafikan tidak ada sama sekali tuhan kecuali Allah.
Padahal, Islam mengakui ada tuhan-tuhan batil lainnya yang disembah selain Allah. Tuhan-tuhan batil tersebut disebutkan dalam Al-Quran:
-Matahari dan bulan [surat Fushshilat: 37]
-Malaikat [surat Ali Imran: 80]
-Para Nabi seperti nabi Isa [surat Al-Maidah: 116]
-Orang-orang shalih [surat Al-Isra’: 57]
-Batu dan pohon [surat An-Najm:19-20]
Maksud batil disini adalah mereka menjadikannya tidak sesuai dan bukan pada tempatnya. Bukan para malaikat, Nabi dan orang shalih yang batil. Bahkan diceritakan dalam Al-Quran bahwa mereka semua berlepas diri dari yang menyembah mereka.
Maka konsekuensi dari fakta diatas:
1. Tidak ada  tuhan sama sekali kecuali Allah
2. Ada tuhan-tuhan batil lainnya
Maka maknanya jadinya,
“semua tuhan-tuhan batil tersebut adalah Allah”

Karena tidak ada tuhan melainkan itu adalah Allah. misalnya ini ada batu yang dianggap sebagai tuhan tetapi batil. Maka batu itu adalah Allah. Tentu makna ini salah besar.
Jika masih kurang jelas, kita ambil contoh yang lain. Coba pahami kalimat ini dengan penafian  [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi”,
“tidak ada sandal di masjid A kecuali baru”
Maka semua  sandal dimasjid  A tanpa terkecuali pasti baru. Jika ada yang menemukan sandal di masjid A. Maka sandal tersebut pasti baru.

Bukti ketiga
Ada khabar yang [محذوف] dibuang/tidak ditampakkan.
Dalam ilmu bahasa Arab menyatakan bahwa[لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi” membutuhkan Isimnya dan khabarnya, dan  khabarnya pasti di buang dan ini memang kaidah bahasa Arab dan diketahui oleh semua orang yang paham kaidah bahasa Arab. Maka orang yang mengartikan syahadat dengan “tiada tuhan selain Allah”, mengartikannya kata perkata yaitu,
-[لا ]=tiada
-[إله]=tuhan
-[إلا]=selain
-[الله]=Allah
Maka ada kata yang terlewat yang harus diartikan juga, yaitu khabar yang dibuang. Apa khabar yang dibuang tersebut? Jawabannya adalah [حق atau بحق] “haqqun atau bihaqqin”.
Maka makna syahadat yang benar adalah,
لا معبود حق إلا االه
“tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah”

Kata [حق atau بحق] “haqqun atau bihaqqin” berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ

“Yang demikian itu dikarenakan Allah adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” [QS. Luqman: 30].
Begitu juga tafsir para ulama, Ibnu Katsir menafsirkan surat Al-Qashash:70, At-Thabari menafsirkan surat Al-An’am:106, As-Suyuti menafsirkan surat Al-Baqarah: 255. Dan banyak ulama yang lainnya.

Faidah bagi yang sudah belajar bahasa Arab
Mana yang lebih tepat khabar yang dibuang “haqqun” atau “bihaqqin”?
Jawab: “haqqun” lebih tepat karena jika menggunakan “bihaqqin” dia adalah susunan “jar dan majrur”. Sedangkan “jar dan majrur” umumnya membutuhkan fi’il/kata kerja atau yang beramalan (verb) seperti fi’il sebagai “muallaqnya”/tempat bergantungnya.
Misalnya.
الرجل في البيت
Maka,pada في البيت sebenarnya ada fi’il tempat bergantungnya/ “muallaq” yaitu استقر yang memang fi’il ini tidak ditampakkan.

Sep 27, 2013

X-ray fluorescence: Tembaga atau Alloy perunggu sudah dibuat 5300 tahun lalu?



Pada bulan September 1991, pendakin gunung di pegunungan Alpen dekat  perbatasan Austria-Italia menemukan jasad manusia yang terperangkap dibawah es. Jasad itu terawetkan dengan baik. Dengannya terdapat berbagai macam alat termasuk kapak yang bermata logam.
Ilmuwan tertarik pada kapak yang pertama kali disangka perunggu, yaitu alloy tembaga dan timah. Ada komplikasi dalam hal ini, dimana dengan teknik perunutan yang digunakan pada pakaian dan jasad menampilkan bahwa umur manusia es itu sekitar 5300 tahun. Padahal penggunaan perunggu belum muncul di fosil Eropa hingga sekitar 4000 tahun lalu. Entah penggunaan perunggu oleh bangsa Eropa yang lebih awal dari yang disangka selama ini ataukah kapak tersebut  terbuat dari bahan berbeda. Tembaga sesuai dengan umur manusia es tersebut, sejak dia telah digunakan setidaknya 6000 tahun yang lalu. 

Salah satu teknik untuk menentukan identitas logam adalah melarutkannya dalam asam. Kemudian larutan yang dihasilkan akan diuji untuk melihat ion-ion yang terdapat didalamnya. Namun tentu saja hal itu akan merusak kapak yang mana saat ini merupakan artifak yang berharga.

Maka jalan keluarnya adalah dengan teknik analisis yang disebut dengan X-rayfluorescence.  Objek yang akan dianalisis diradiasi dengan radiasi high-energy X-ray. Atom-atom akan menyerap radiasi tadi, menyebabkan electron dari tingkat energy lebih rendah keluar sehingga electron dari tingkat energy lebih tinggi akan “masuk” untuk mengisi ruang yang kosong. Electron jatuh ke tingkat energy yang lebih rendah sambil mengemisikan sinar X. electron masing-masing atom mengemisikan sinar X pada panjang gelombang tertentu.
 Ilmuwan menggunakan harga panjang gelombang ini untuk mengidentifikasi atom. Dari hasil analisis fluoresensi sinar X terungkap bahwa logam mata kapak itu hampir tembaga murni.

Sep 24, 2013

Kisah sahabat rasulullah: Tsa’labah bin Haathib



Banyak sekali yang mengkisahkan sahabat nabi bernama Tsa’labah dari mulut ke mulut, juga disebarkan dalam buku-buku, dan situs-situs Islam. Mereka menceritakan bahwa Tsa’labah dulunya seorang yang miskin dan taat ibadah, tapi ketika Allah Ta’ala memberikannya kekayaaan dengan banyaknya ternak peliharaannya akhirnya dia durhaka kepada Allah Ta’ala hingga wafatnya.
Berikut ini selengkapnya kisah Tsa’labah bin Haathib:
دثنا أبو يزيد القراطيسي ثنا أسد بن موسى ثنا الوليد بن مسلم ثنا معان بن رفاعة عن علي بن يزيد عن القاسم عن أبي أمامة أن ثعلبة بن حاطب الأنصاري : أتى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله أدع الله أن يرزقني الله قال : ويحك يا ثعلبة قليل تؤدي شكره خير من كثير لا تطيقه ثم رجع إليه فقال : يا رسول الله أدع الله أن يرزقني مالا قال ويحك يا ثعلبة أما تريد أن تكون مثل رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ والله لو سألت أن يسيل لي الجبال ذهبا وفضة لسالت ثم رجع إليه فقال : يا رسول الله أدع الله أن يرزقني مالا والله لئن أتاني الله مالا لأوتين كل ذي حق حقه فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : اللهم ارزق ثعلبة مالا فاتخذ غنما فنمت كما ينمو الدود حتى ضاقت عنها أزقة المدينة فتنحى بها وكان يشهد الصلاة مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم يخرج إليها ثم نمت حتى تعذرت عليه مراعي المدينة فتنحى بها فكان يشهد الجمعة مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم يخرج إليها ثم نمت فتنحى بها فترك الجمعة والجماعات فيتلقى الركبان ويقول ماذا عندكم من الخبر ؟ وما كان من أمر الناس ؟ فأنزل الله عز و جل على رسوله صلى الله عليه و سلم { خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها } قال : فاستعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم على الصدقات رجلين رجل من الأنصار ورجل من بني سليم وكتب لهما سنة الصدقة وأسنانها وأمرهما أن يصدقا الناس وإن يمرا بثعلبة فيأخذا من صدقة ماله ففعلا حتى ذهبا إلى ثعلبة فأقرآه كتاب رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : صدقا الناس فإذا فرغتما فمرا بي ففعلا فقال : والله ما هذه إلا أخية الجزية فانطلقا حتى لحقا رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنزل الله عز و جل على رسوله صلى الله عليه و سلم { ومنهم من عاهد الله لئن آتانا من فضله } إلى قوله { يكذبون } قال : فركب رجل من الأنصار قريب لثعلبة راحلة حتى أتى ثعلبة فقال ويحك يا ثعلبة هلكت أنزل الله عز و جل فيك القرآن كذا فأقبل ثعلبة ووضع التراب على رأسه وهو يبكي ويقول : يا رسول الله يا رسول الله فلم يقبل منه رسول الله صلى الله عليه و سلم صدقته حتى قبض الله رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم أتى أبا بكر رضي الله عنه بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : يا أبا بكر قد عرفت موقعي من قومي ومكاني من رسول الله صلى الله عليه و سلم فاقبل مني فأبى أن يقبله ثم أتى عمر رضي الله عنه فأبى أن يقبل منه ثم أتى عثمان رضي الله عنه فأبى أن يقبل منه ثم مات ثعلبة في خلافة عثمان رضي الله عنه
Telah bercerita kepada kami Abu Yazid Al Qarathisy, bercerita kepada kami Asad bin Musa, bercerita kepada kami Al Walid bin Muslim, bercerita kepada kami Mu’aan bin Rifa’ah, dari Ali bin Yazid, dari Al Qasim, dari Abu Umamah, bahwa Tsa’labah bin Hathib Al Anshari mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku diberikan harta.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Celaka engkau wahai Tsa’labah! Sedikit yang engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya.” Kemudian Tsa’labah kembali kepadanya, dan berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar saya diberikan harta.” Nabi bersabda: “Apakah engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah? Demi yang diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung-gunung mengalirkan perak dan emas, niscaya akan mengalir untukku. ” Kemudian ia (Tsa’labah) berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau meminta kepada Allah agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a: “Ya Allah, berikankanlah harta kepada Tsa’labah.” Kemudian ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambing itu tumbuh beranak, sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya. Sesudah itu, Tsa’labah menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah. Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada shalat zhuhur dan ‘ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’at juga ia tinggalkan. Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada para Shahabat: “Apa yang dilakukan Tsa’labah?” Mereka menjawab: “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam mengutus dua orang untuk mengambil zakatnya seraya bersabda: “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua.” Lalu keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya disana dibacakan surat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan serta merta Tsa’labah berkata: “Apakah yang kalian minta dari saya ini, pajak atau semisalnya? Aku mengerti apa sebenarnya yang kalian minta ini!” Lalu keduanya pulang dan menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tatkala beliau melihat kedua-nya (pulang tidak membawa hasil), sebelum mereka berbicara, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celaka engkau, wahai Tsa’labah! Lalu turun ayat: “Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.’ Maka, setelah Allah mem-berikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. At Taubah (9): 75-76) Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia mohon agar diterima zakatnya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung menjawab: “Allah telah melarangku menerima zakatmu.” Hingga Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, beliau tidak mau menerima sedikit pun dari zakatnya. Dan Abu Bakar, ‘Umar, serta ‘Utsman pun tidak menerima zakatnya di masa kekhilafahan mereka. Tsa’labah wafat pada masa kekhilafahan Utsman bin ‘Affan.

Kisah ini diriwayatkan oleh:
- Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1310
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 4357
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 7873
- Imam Abu Bakar Asy Syaibani dalam Al Aahad wal Matsani No. 687
- Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jami’ul Bayan, No. 16987
- Imam Ibnu Abi Hatim Ar Razi dalam Tafsirnya No. 10638
- Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Li Ahkam Al Quran, 8/208
- Imam Al Baghawi dalam Ma’alim At Tanzil, 4/76
- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/183-184
- Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 11/207-208
- Imam Abul Husein Abdul Baqi bin Qani’, Mu’jam Ash Shahabah, No. 127
- Dan lainnya.

Kisah ini tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab diriwayatkan oleh beberapa rawi yang dhaif, yakni:

1. Mu’aan bin Rifa’ah As Sulami

Mayoritas imam jarh wa ta’dil mendhaifkannya. Yahya mengatakan: dhaif. Ar Razi dan As Sa’di mengatakan: laisa bihujjah (bukan hujjah). Ibnu Hibban mengatakan: “haditsnya tidak serupa dengan hadits-hadits yang kuat maka mesti ditinggalkan.” Al Azdi mengatakan: “haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, No. 3353. Lihat juga Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 3/36)

Al Jauzajaani mengatakan: bukan hujjah. Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – lemah haditsnya. Imam Ibnu Hibban mengatakan: munkarul hadits. Ibnu ‘Adi mengatakan: “kebanyakan hadits darinya tidak bisa diikuti.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 10/182)

Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Saya telah membaca tulisan Adz Dzahabi, bahwa Mu’aan wafat sekitar bersamaan dengan Al Auza’i, dan dia (Mu’aan) adalah pemilik hadits yang tidak teliti (mutqin).” (Ibid. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, No. 8619)

Abu Hatim mengatakan: haditsnya boleh ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujjah. Yahya mengatakan: dhaif. (Imam Adz Dzahabi, Al Kasyif No. 5513)

Hanya sedikit yang mentsiqahkan, Duhaim mengatakan: tsiqah. (Ibid), begitu pula Ali bin Al Madini. (Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fi Adh Dhuafa, No. 6309), Imam Ahmad mengatakan: laa ba’sa bihi – tidak apa-apa. (Imam Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad Dam, Hal. 152), Muhammad bin ‘Auf dan Abu Daud mengatakan: tidak apa-apa. (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahzib, 10/182)

Lalu bagaimana menilai Mu’aan bin Rifa’ah ini? Di tengah badai kritikan baginya namun ada pula yang memujinya. Kaidahnya adalah: jarh mufassar muqaddamun ‘ala ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih diutamakan dibanding pujian yang masih umum. Maka, dia tetap seorang perawi yang dhaif, sebab kritikan (jarh) yang diterimanya telah dirinci sebagaimana rincian Ibnu Hibban,ada pun pujiannya (ta’dil) masih bersifat umum. Wallahu A’lam

2. Ali bin Yazid Abu Abdul Malik

Imam An Nasa’i mengatakan: matrul hadits – haditsnya ditinggalkan. Imam Bukhari mengatakan: munkarul hadits – haditsnya munkar. (Imam Al Muqrizi, Al Mukhtashar Al Kamil fi Adh Dhuafa, No. 1338, Lihat juga Al ‘Uqaili dalam Adh Dhuafa, No. 1259)

Imam Ad Daruquthni memasukannya dalam kitabnya Adh Dhuafa wa Matrukin. (No. 408), selain itu beliau juga didhaifkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Hatim, dan Imam Abu Zur’ah. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wa At Ta’dil, No. 1142)

Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Mu’aan bin Rifa’ah, Al Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid, semuanya adalah dhaif.” (Al Muhalla, 11/208)

Oleh karena itu, segenap para ulama pun telah mendhaifkan hadits ini.

Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Hadza Baathil, li anna tsa’labah badriy ma’ruuf- hadits ini batil, karena Tsa’labah adalah dikenal sebagai Ahli Badar. ” (Lihat Al Muhalla, 11/208)

Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Dhaif jiddan – lemah sekali.” (Takhrij Ahadits Al Kasyaaf, Hal. 77), juga didhaifkan oleh Imam As Suyuthi. (Asbabun Nuzul, Hal. 121), Imam Al ‘Iraqi. (Takhrij Ahadits Al Ihya’, 3/338), Imam Al Qurthubi. (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 8/210)

Syaikh Ali Hasyisy mengatakan dhaif jiddan. (Lihat Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 248, No. 158), Syaikh Al Albani juga mengatakan: dhaif jiddan. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 1607)

Hadits ini selain dhaif riwayatnya, tapi juga buruk secara makna, yakni telah menjadikan salah satu sahabat nabi yang mulia, bernama Tsa’labah bin Haathib seorang Ahli Badar dan golongan Anshar, sebagai sosok yang durhaka. Hal ini merupakan tuduhan yang berat kepadanya, dan dusta terhadapnya. Padahal Ahli Badar telah Allah Ta’ala maafkan dan diampuni dosa-dosanya, dan dijamin masuk surga, sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits shahih.

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَنْ يَدْخُلَ النَّارَ رَجُلٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَةَ
Tidak akan pernah masuk ke neraka seorang yang ikut perang Badar dan Hudaibiyah. (HR. Ahmad No. 15297, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 15297. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 33894, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 2160)

Dahulu ada sahabat nabi, Hatib bin Abi Baltha’ah Radhiallahu ‘Anhu dan dia seorang Ahli Badar, yang telah membocorkan rahasia negara ketika menjelang penaklukan kota Mekkah (Fathul Makkah). Beliau mengirim utusan seorang wanita untuk membawa surat ke Mekkah kepada sanak familinya perihal penaklukan itu. Namun Rasulullah mengetahui rencana Hatib ini, Beliau mengutus Ali, Az Zubeir, dan Miqdad untuk mengejar utusan tersebut, dan akhirnya terkejar.
Para sahabat pun marah kepada Hatib bin Abi Baltha’ah, bahkan Umar mengatakan: “Ya Rasulullah, Da’ni adhribu ‘unuqa haadzal munaafiq – Ya Rasulullah, biarkan saya memenggal leher si munafiq ini.”

Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدْ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ
غَفَرْتُ
Dia telah ikut perang Badar, apakah engkau tidak tahu bahwa barang kali Allah Ta’ala telah memandang Ahli Badar, lalu Dia berkata: lakukan apa yang kalian mau, kalian telah Aku ampuni. (HR. Bukhari No. 3007 dan Muslim No. 2494)
Demikian mulia kedudukan Ahli Badar, dan Tsa’labah bin Haathib juga termasuk Ahli Badar.

Selain itu, kisah dalam riwayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menolak amal shalih dan maaf hambaNya. Ini juga bertentangan dengan sifat Allah Ta’ala sebagai Al Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Maha Penyayang).

Kemudian riwayat ini juga mengandung makna bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memaafkan Tsa’labah sampai dirinya wafat. Ini jelas bertentangan dengan akhlak Beliau yang asyidda’u ‘alal kuffar wa ruhama’u bainahum – keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang terhadap mereka (orang-orang mukmin/para sahabatnya).

Wallahu A’lam