Bag (2)
>>salah baca sedikit artinya sangat jauh berbeda bahkan bisa bertentangan
Misalnya,
-kalimat [الله
أكبر] “Allahu
akbar” artinya: Allah Maha Besar
Jika dibaca [آلله أكبر]
“AAllahu akbar” dengan huruf alif
dibaca panjang, artinya: apakah Allah Maha Besar?
-surat
Al-Fatihah ayat ke-5,[إياك نعبد وإياك نستعين]
Jika dibaca “IYYaaka na’buduu” dengan tasydid
huruf “ya” artinya: “Hanya kepada-Mu Kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan.
Jika dibaca “iYaaka
na’budau” tanpa
tasydid huruf “ya” maka artinya: ““kepada cahaya matahari kami
menyembah dan kepada cahaya
matahari kami
meminta pertolongan”
Ibnu
Katsir rahimahullah
menjelaskan hal ini dalam tafsirnya,
وقرأ
عمرو بن فايد بتخفيفها مع الكسر وهي قراءة شاذة مردودة؛ لأن
“إيا” ضوء الشمس
“’Amr bin Faayid
membacanya dengan tidak mentasydid [huruf ya’] dan mengkasrah [huruf alif]. Ini
adalah bacaan yang aneh/nyeleneh dan tertolak. Karena makna “iya” adalah
cahaya matahari.” [Al-Jami’
Liahkamil Qur’an 1/134, Darul Kutub Al-Mishriyah, Koiro, cet.ke-2,
1384 H, Asy-Syamilah]
Masih
ada contoh yang lain misalnya “JamAAl”
artinya keindahan sedangkan “jamAl”
artinya unta.
>>beda
bacaan tetapi artinya sama saja/ satu kata bisa I’rab-nya berbeda-beda
Contohnya
pada kalimat,
[أحب
الفاكهة و لا سيما برتقال] “aku menyukai
buah-buahan lebih-lebih buah jeruk”
Maka
kata [برتقال] “burtuqool” bisa dibaca dengan keseluruhan empat macam bacaan
pada akhirnya karena berbeda I’rab-nya
bisa dibaca “burtuqoolUN”
atau “burtuqoolAN”
atau “burtuqooliN”
atau “burtuqool”
Berikut
pembahasan I’rab-nya, sekali lagi [maaf] bagi sudah
belajar dasar-dasar bahasa Arab silahkan mencermati, bagi yang belum mungkin
agak membingungkan dan silahkan dilewati [baca: harus semangat belajar bahasa
Arab].
-dibaca
“burtuqooliN” [majrur] jika huruf “maa”
pada “siyyama” dianggap sebagai huruf “zaaidah” sehinga isim setelahnya
[burtuqool] berkedudukan sebagai mudhof ilaih.
-
dibaca “burtuqoolUN” [marfu’] jika huruf
“maa” pada “siyyama” dianggap sebagai isim maushul mudhof ilaih dari “siyya”
sehinga isim setelahnya [burtuqool] berkedudukan sebagai khobar dengan mubtada’
yang mahdzuf takdirnya huwa
-
dibaca “burtuqoolAN” [manshub] jika huruf
“maa” pada “siyyama” dianggap sebagai sebuah isim mudhof ilaih dari “siyya”
sehinga isim setelahnya [burtuqool] berkedudukan sebagai tamyiz manshub
-
dibaca “burtuqool”
karena diwaqafkan ketika akhir kata.
[lihat
Mulakhkhas Qowa’idul Lughoh
Al-Arabiyah hal. 65, Daruts Tsaqafah Al-Islamiyah, Beirut]
>>satu
kalimat bisa dibaca berbeda-beda dan artinya juga berbeda-beda
Misalnya,
لا
تأكل السمك و تشرب اللبن
Maka
kata [تشرب] bisa dibaca “tasyroB”
atau “tasyroBA”
atau “tasyroBU”
atau TasyroBI”
-jika dibaca “tasyroB” artinya: “jangan engkau
makan ikan dan jangan
engkau minum susu”
-jika
dibaca “tasyroBA”
artinya: “jangan engkau makan ikan ketika
engkau sedang minum susu”
-jika
dibaca “tasyroBU”
artinya: ““jangan engkau makan ikan dan
engkau boleh minum susu”
-bisa
dibaca TasyroBI”
jika bacanya disambung ketika membaca “tasyroB” karena bertemu dua huruf sukun yaitu huruf
“ba” dan “alif lam” pada “al-laban.
Berikut
pembahasan I’rab-nya, sekali lagi [maaf] bagi sudah
belajar dasar-dasar bahasa Arab silahkan mencermati, bagi yang belum mungkin
agak membingungkan dan silahkan dilewati [baca: harus semangat belajar bahasa
Arab].
-dibaca“tasyroB” [majzum] karena huruf
“wawu” sebagai huruf athof, fi’ilnya athof dengan “ta’kul” karena Huruf “laa
Naahiyah” menjazmkannya
-
dibaca “tasyroBA”
[manshub] karena huruf “wawu” sebagai “Wawu haal” dengan “adawatun naasibah”
huruf “an” disembunyikan wajib
-
jika dibaca “tasyroBU”
[marfu’] karena huruf “wawu” sebagai “Wawu isti’naf” yaitu “wawu” untuk
menunjukkan awal kalimat dan tidak berhubungan dengan kalimat sebelumnya.
Sehingga fi’ilnya hukum asalnya marfu’ jika tidak ada amil.
[lihat
Qowaaidul ‘Asasiyah Lillughotil
Arabiyah hal 34, As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Darul Kutub
Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet.ke-3,1427 H]
>>Terkadang
harus paham dulu baru bisa dibaca lafadznya
Ini
salah satu yang paling unik menurut kami. Karena umumnya bahasa yang lain
dibaca/dilafadzkan dulu baru bisa dipahami. Lebih-lebih ia juga harus paham
i’rabnya. Sudah kita ketahui bahwa bahasa Arab aslinya adalah “gundul”
dan tidak ada harokatnya, karena harokat memang sejarahnya dibuat bagi orang
non-Arab. Tanpa bantuan harokat mereka yang belum mengetahui dasar-dasar bahasa
Arab tidak bisa membacanya atau melafadzkannya. Contohnya pada Al-Quran surat
An-Nisa ayat 164,
و كلم الله موسى تكليما
Bacaan
yang benar: “wa kallamallaaHU Muusaa takliima” [Allah
benar-benar mengajak bicara Musa]
Maka
jika pembaca tidak paham maksudnya, maka dia tidak tahu cara membacanya. Apakah
lafadz Jalalah Allah dibaca, “Allahu” atau “Allaha” atau “Allahi”
Lho dari mana dia tahu maksudnya, padahal
belum dibaca, padahal juga yang dibaca adalah sumber ilmunya?
Jawabannya:
umumnya dari i’rab, konteks kalimat atau maksud kalimat sebelumnya. Pada kasus
ini, maksudnya diketahui juga dari aqidah yang benar yaitu Allah mempunyai
sifat berbicara dan memang Allah yang mengajak Musa berbicara.
sekali
lagi [maaf] bagi sudah belajar
dasar-dasar bahasa Arab silahkan mencermati, bagi yang belum mungkin agak
membingungkan dan silahkan dilewati [baca: harus semangat belajar bahasa Arab].
-Tidak
mungkin lafadz Jalalah dibaca “AllaHA”
Karena artinya nanti “Musa mengajak
bicara Allah”, karena ada kemungkinan nanti menafikan sifat Allah
berbicara dan ini bentuk tahrif/menyelewengkan sifat Allah.
-tidak
mungkin lafadz Jalalah dibaca “AllaHi”
Karena tidak ada penyebab majrurnya
yaitu huruf jar atau mudhaf ilaih.
Dalam
bahasa Arab, i’rab terkadang membantu menyempurnakan [menangkap] makna dan
terkadang maknanya bisa menyempurnakan i’rab.
Satu
lagi yang menjadi isyarat yang cukup penting, bahwa orang yang ingin
berbahasa arab dengan benar dan fasih, dilatih agar berpikir dahulu baru
berbicara. Tidak sembarangan berbicara karena minimal ia memikirkan i’rab/
kedudukan kata dalam kalimat. Jelas ini tidak kita dapatkan dalam kebanyakan
bahasa karena bahasa Arab itu unik dan sesuatu dibilang unik jika jarang sekali
dijumpai.
>>Bisa selamat
dan tidak salah membaca harokat gundul bahasa Arab
Mungkin
ada yang bertanya berarti agak susah juga kalau berbicara dalam bahasa Arab
jika harus dipikirkan dulu I’rab/kedudukan tiap kata. Bagaimana juga
orang-orang arab badui dan Para TKI/TKW bisa berbicara bahasa Arab?
Maka
jawabannya adalah mereka menggunakan bahasa Arab Ammiyah/ atau
bahasa Gaul menurut bahasa kita, dan kurang memperhatikan kaidah. Dan ini yang
lebih penting, supaya bisa selamat dan tidak salah membaca digunakan prinsip,
[تجزم تشلم] “Tajzim
taslam” artinya: “engkau jazm-kan maka engkau selamat”
Maksud
menjazmkan adalah mensukunkan semua huruf akhirnya pada tiap kata, contohnya,
[أحمد هو غائب لا يحضر في الفصل]
“Ahmadu huwa ghaaibun laa yahduru fil fashli” artinya: Ahmad tidak hadir
, tidak ada dikelas.
Maka
boleh saja kita baca sukun semua tiap kata seperti “AhmaD Huwa
GhaaiB laa yahdhuR fil faSHL”
Satu
lagi yang menjadi isyarat yang cukup penting, bahwa dalam bahasa Arab kita
bisa mengetahui kefasihan seseorang dalam berbahasa dan kemampuannya yang
sebenar-benarnya dengan melihat kemampuannya meng-i’rab. Kebanyakan
orator dan tokoh penting mempunyai kemampuan dalam hal ini sehingga terkadang
kata-katanya bisa seperti menyihir dan terdengar sangat indah bagi yang bisa
memahami keindahannya [baca: tahu kaidah-kaidah bahasa Arab]. Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang fasih bahasa Arabnya.
sebelumnya selanjutnya
sebelumnya selanjutnya
No comments:
Post a Comment