Nov 11, 2013

Keunikan-Keunikan Bahasa Arab (2)



Bag (2)

>>salah baca sedikit artinya sangat jauh berbeda bahkan bisa bertentangan
Misalnya,
-kalimat [الله أكبر] “Allahu akbar” artinya: Allah Maha Besar
Jika dibaca [آلله أكبر] “AAllahu akbar” dengan huruf alif dibaca panjang, artinya: apakah Allah Maha Besar?
-surat Al-Fatihah ayat ke-5,[إياك نعبد وإياك نستعين]
Jika dibaca “IYYaaka na’buduu” dengan tasydid huruf “ya” artinya: “Hanya kepada-Mu Kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Jika dibaca “iYaaka na’budau” tanpa tasydid huruf “ya” maka artinya: ““kepada cahaya matahari kami menyembah dan kepada cahaya matahari kami meminta pertolongan”
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan hal ini dalam tafsirnya,
وقرأ عمرو بن فايد بتخفيفها مع الكسر وهي قراءة شاذة مردودة؛ لأن “إيا” ضوء الشمس
“’Amr bin Faayid membacanya dengan tidak mentasydid [huruf ya’] dan mengkasrah [huruf alif]. Ini adalah bacaan yang aneh/nyeleneh dan tertolak. Karena makna “iya” adalah cahaya matahari.” [Al-Jami’ Liahkamil Qur’an 1/134, Darul Kutub Al-Mishriyah, Koiro, cet.ke-2, 1384 H, Asy-Syamilah]
Masih ada contoh yang lain misalnya “JamAAl” artinya keindahan sedangkan “jamAl” artinya unta.

>>beda bacaan tetapi artinya sama saja/ satu kata bisa I’rab-nya berbeda-beda
Contohnya pada kalimat,
[أحب الفاكهة و لا سيما برتقال] “aku menyukai buah-buahan lebih-lebih buah jeruk”
Maka kata [برتقال] “burtuqool” bisa dibaca dengan keseluruhan empat macam bacaan pada akhirnya karena berbeda I’rab-nya bisa dibaca “burtuqoolUN” atau “burtuqoolAN” atau “burtuqooliN” atau “burtuqool
Berikut pembahasan I’rab-nya, sekali lagi [maaf] bagi sudah belajar dasar-dasar bahasa Arab silahkan mencermati, bagi yang belum mungkin agak membingungkan dan silahkan dilewati [baca: harus semangat belajar bahasa Arab].
-dibaca “burtuqooliN” [majrur] jika huruf “maa” pada “siyyama” dianggap sebagai huruf “zaaidah” sehinga isim setelahnya [burtuqool] berkedudukan sebagai mudhof ilaih.
- dibaca “burtuqoolUN” [marfu’] jika huruf “maa” pada “siyyama” dianggap sebagai isim maushul mudhof ilaih dari “siyya” sehinga isim setelahnya [burtuqool] berkedudukan sebagai khobar dengan mubtada’ yang mahdzuf takdirnya huwa
- dibaca “burtuqoolAN” [manshub] jika huruf “maa” pada “siyyama” dianggap sebagai sebuah isim mudhof ilaih dari “siyya” sehinga isim setelahnya [burtuqool] berkedudukan sebagai tamyiz manshub
- dibaca “burtuqool” karena diwaqafkan ketika akhir kata.
[lihat Mulakhkhas Qowa’idul Lughoh Al-Arabiyah hal. 65, Daruts Tsaqafah Al-Islamiyah, Beirut]

>>satu kalimat bisa dibaca berbeda-beda dan artinya juga berbeda-beda
Misalnya,
لا تأكل السمك و تشرب اللبن
Maka kata [تشرب] bisa dibaca “tasyroB” atau “tasyroBA” atau “tasyroBU” atau TasyroBI
-jika dibaca “tasyroB” artinya: “jangan engkau makan ikan dan jangan engkau minum susu”
-jika dibaca “tasyroBA” artinya: “jangan engkau makan ikan ketika engkau sedang minum susu”
-jika dibaca “tasyroBU” artinya: ““jangan engkau makan ikan dan engkau boleh minum susu”
-bisa dibaca TasyroBI” jika bacanya disambung ketika membaca “tasyroB” karena bertemu dua huruf sukun yaitu huruf “ba” dan “alif lam” pada “al-laban.
Berikut pembahasan I’rab-nya, sekali lagi [maaf] bagi sudah belajar dasar-dasar bahasa Arab silahkan mencermati, bagi yang belum mungkin agak membingungkan dan silahkan dilewati [baca: harus semangat belajar bahasa Arab].
-dibaca“tasyroB” [majzum] karena huruf “wawu” sebagai huruf athof, fi’ilnya athof dengan “ta’kul” karena Huruf “laa Naahiyah” menjazmkannya
- dibaca “tasyroBA” [manshub] karena huruf “wawu” sebagai “Wawu haal” dengan “adawatun naasibah” huruf “an” disembunyikan wajib
- jika dibaca “tasyroBU” [marfu’] karena huruf “wawu” sebagai “Wawu isti’naf” yaitu “wawu” untuk menunjukkan awal kalimat dan tidak berhubungan dengan kalimat sebelumnya. Sehingga fi’ilnya hukum asalnya marfu’ jika tidak ada amil.
[lihat Qowaaidul ‘Asasiyah Lillughotil Arabiyah hal 34, As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet.ke-3,1427 H]

>>Terkadang harus paham dulu baru bisa dibaca lafadznya
Ini salah satu yang paling unik menurut kami. Karena umumnya bahasa yang lain dibaca/dilafadzkan dulu baru bisa dipahami. Lebih-lebih ia juga harus paham i’rabnya. Sudah kita ketahui bahwa bahasa Arab  aslinya adalah “gundul” dan tidak ada harokatnya, karena harokat memang sejarahnya dibuat bagi orang non-Arab. Tanpa bantuan harokat mereka yang belum mengetahui dasar-dasar bahasa Arab tidak bisa membacanya atau melafadzkannya. Contohnya pada Al-Quran surat An-Nisa ayat 164,
و كلم الله موسى تكليما
Bacaan yang benar: “wa kallamallaaHU Muusaa takliima” [Allah benar-benar mengajak bicara Musa]
Maka jika pembaca tidak paham maksudnya, maka dia tidak tahu cara membacanya. Apakah lafadz Jalalah  Allah dibaca, “Allahu” atau “Allaha” atau “Allahi”
Lho dari mana dia tahu maksudnya, padahal belum dibaca, padahal juga yang dibaca adalah sumber ilmunya?
Jawabannya: umumnya dari i’rab, konteks kalimat atau maksud kalimat sebelumnya. Pada kasus ini, maksudnya diketahui juga dari aqidah yang benar yaitu Allah mempunyai sifat berbicara dan memang Allah yang mengajak Musa berbicara.
sekali lagi [maaf] bagi sudah belajar dasar-dasar bahasa Arab silahkan mencermati, bagi yang belum mungkin agak membingungkan dan silahkan dilewati [baca: harus semangat belajar bahasa Arab].
-Tidak mungkin lafadz Jalalah  dibaca “AllaHA”
 Karena artinya nanti “Musa mengajak bicara Allah”, karena ada kemungkinan nanti menafikan sifat  Allah berbicara dan ini bentuk tahrif/menyelewengkan sifat Allah.
-tidak mungkin lafadz Jalalah  dibaca “AllaHi”
 Karena tidak ada penyebab majrurnya yaitu huruf jar atau mudhaf ilaih.
Dalam bahasa Arab, i’rab terkadang membantu menyempurnakan [menangkap] makna dan terkadang maknanya bisa menyempurnakan i’rab.
Satu lagi yang menjadi isyarat yang cukup penting, bahwa orang yang ingin berbahasa arab dengan benar dan fasih, dilatih agar berpikir dahulu baru berbicara. Tidak sembarangan berbicara karena minimal ia memikirkan i’rab/ kedudukan kata dalam kalimat. Jelas ini tidak kita dapatkan dalam kebanyakan bahasa karena bahasa Arab itu unik dan sesuatu dibilang unik jika jarang sekali dijumpai.

>>Bisa selamat dan tidak salah membaca harokat gundul bahasa Arab
Mungkin ada yang bertanya berarti agak susah juga kalau berbicara dalam bahasa Arab jika harus dipikirkan dulu I’rab/kedudukan tiap kata. Bagaimana juga orang-orang arab badui dan Para TKI/TKW bisa berbicara bahasa Arab?
Maka jawabannya adalah mereka menggunakan bahasa Arab Ammiyah/  atau bahasa Gaul menurut bahasa kita, dan kurang memperhatikan kaidah. Dan ini yang lebih penting, supaya bisa selamat dan tidak salah membaca digunakan prinsip,
[تجزم تشلم] “Tajzim taslam” artinya: “engkau jazm-kan  maka engkau selamat”
Maksud menjazmkan adalah mensukunkan semua huruf akhirnya pada tiap kata, contohnya,
[أحمد هو غائب لا يحضر في الفصل] “Ahmadu huwa ghaaibun laa yahduru fil fashli” artinya: Ahmad tidak hadir , tidak ada dikelas.
Maka boleh saja kita baca sukun semua tiap kata seperti “AhmaD Huwa GhaaiB laa yahdhuR fil faSHL
Satu lagi yang menjadi isyarat yang cukup penting, bahwa dalam bahasa Arab kita bisa mengetahui kefasihan seseorang dalam berbahasa dan kemampuannya yang sebenar-benarnya dengan melihat kemampuannya meng-i’rab. Kebanyakan orator dan tokoh penting mempunyai kemampuan dalam hal ini sehingga terkadang kata-katanya bisa seperti menyihir dan terdengar sangat indah bagi yang bisa memahami keindahannya [baca: tahu kaidah-kaidah bahasa Arab]. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang fasih bahasa Arabnya.

sebelumnya                      selanjutnya

No comments:

Post a Comment