Bag (4)
>>
lebih mudah dihapalkan
Ini
karena adanya “wazan”
atau cetakan/pola kata yang sudah kami jelaskan sebelumnya. Dengan adanya
cetakan kata tersebut lidah dan lisan kita akan terbiasa mengucapkannya. Dan
sesuatu yang sudah terbiasa kita ucapkan maka akan lebih mudah dihapalkan
Selain
itu, bahasa Arab seakan-akan tiap kata bisa disambung bacaannya. Jadi
seakan-akan beberapa kata tersebut kita sambung terus, sebagaimana kita membaca
Al-Quran. Ini karena struktur bahasa arab yang mendukung seperti adanya [ال] “alif
lam”, dan ada kaidah penyambungan tiap kata.
Mungkin
bisa kita buktikan, jika kita menghapal Al-Quran tiap kata kita putus-putus
cara bacaannya, maka kita agak kesusahan. Berbeda jika kita menyambung tiap
kata maka akan memudahkan, contohnya Basmalah,
Jika
kita hapal [ب – اسم – الله – الرحمان –
الرحيم] “bi
– ismi – Allahi – Ar-Rahmani- Ar-Rahimi”
Maka
kita akan agak kesusahan, tetapi jika kita sambung, maka akan memudahkan
sebagaimana kita membaca basmalah.
Terbukti
bahwa orang-orang Arab sekalipun Arab badui [kampung] hapalannya kuat dan mampu
menghapal beribu-ribu bait syair. Mampu menceritakan banyak cerita sejarah
hanya berdasarkan hapalan, sehingga dahulu tulis-menulis dikalangan mereka
kurang berkembang, karena jika mudah dihapal maka tidak perlu ditulis. Ditambah
lagi mereka dianugrahkan kekuatan hapalan.
Bukti
lainnya, banyak
orang yang tidak mengenal dasar bahasa Arab sekalipun tetapi mampu menghapal 30
juz Al-Quran dengan hapalan yang kokoh dan tanpa cacat tiap kata bahkan huruf.
>>memiliki
gaya bahasa yang membuat tidak bosan membaca dan mendengarnya
Jika
kita mendengar atau membaca perkataan atau suara lainya, maka kita akan bisa
bosan. Akan tetapi Al-Quran yang menggunakan bahasa Arab, maka kita tidak akan
pernah bosan membacanya dan mendengarnya.
Kita
ambil contoh surat
Al-Fatihah, telah dibaca orang berkali-kali tak terhitung baik di dalam shalat
atau di luar shalat, dan belum pernah ada orang yang merasa jemu, bosan atau
terusik ketika diperdengarkan. Yang mereka dapatkan bahwa bacaan Al-Qur’an itu
terasa sejuk di hati, indah dan menghanyutkan. Itu baru pendengar yang tidak tahu bahasa
Arab. Bagaimana lagi yang mengerti bahasa arab tentu lebih menyentuh.
Kemudian
salah satu yang membuat kita tidak bosan contohnya adalah variasi dhamir/ kata ganti dan pergesaran
penggunaannya dalam satu konteks kalimat dalam bahasa Arab. Maka kadang kita
jumpai bahwa Allah Ta’ala menggunakan
kata “Aku” dan kadang “Kami”.
[pembahasan
yang lengkap silahkan lihat kitab Ushuul
fii tafsiir karya syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin bab Dhamir, Al-Idzhar fii maudi’il idhmar, dan
Al-Iltifat]
Faidah
mengenai dhamir/kata ganti diatas:
-kamu
untuk satu orang bahasa Arabnya [أنت] “anta”
Sedangkan,
Kalian [banyak orang] bahasa Arabnya [أنتم] “antum”
Tetapi
sering kita memanggil satu orang dengan[أنتم] “antum”, faidahnya yaitu ini menunjukkan penghormatan
terhadap lawan bicara
-Allah
kadang menyebut dirinya dengan menggunakan bentuk jamak yaitu “Kami”, maka ini
menunjukkan kebesaran dan kesombongan Allah, maka ini adalah hak Allah. Faidah
ini sekaligus menjawab syubhat orang Nasrani yang mengatakan bahwa tuhan itu
tiga sehingga Allah menngunakan “Kami” ketika berbicara.
>>Bahasa yang
paling sesuai dengan logika manusia
misalnya
kalimat,
[أنا مسرور بمقابلتك]
“ana masruurun bimuqobalatik”
Artinya:
“saya disenangkan [senang] bertemu denganmu”
maka
bahasa Arab menggunakan “masruurun”, dalam bentuk maf’ul (objek
penderita), bukan “saarrun” (fa’il/pelaku) karena ada
sesuatu yang membuatnya senang yaitu bertemu, tidak mungkin ia senang jika
tidak ada yang menbuatnya senang.
bandingkan
dengan bahasa indonesia, “saya merasa senang”
dan
bandingkan pula dengan kalimat,
[أنا قادم] “ana qoodimun” (saya datang)
menggunakan bentuk fa’il (pelaku) karena memang ia melakukannya.
>>Tulisan bahasa
arab aslinya tidak ada titik dan harakatnya
Jika
tulisan bahasa arab tidak ada harakatnya maka ini biasa karena sering kita
jumpai dengan apa yang disebut oleh orang kitab gundul. Orang yang sudah
belajar kaidah bahasa Arab bisa membacanya. Akan tetapi bagaimana jika tidak
ada titiknya? Tentu kita akan agak kesusahan, karena bagaimana membedakan huruf
[ب] “ba”, [ت] “ta”, [ث] “tsa” dan [ن] “nun”? atau huruf [ج]
“Ja”, [ح] “ha” dan [خ] “kha”?
Berikut
kutipan dari mukaddimah Al-Quran terjemah maknawi Mushaf Indonesia
oleh Yayasan Penyelenggara penterjemah/Pentafsir Al-Quran yang ditunjuk
oleh Menteri Agama dengan selaku ketua Prof.R.H.A Soenarjo S.H,
“Sebagaimana
diterangkan di atas, Alquran mula-mula ditulis tanpa titik dan baris. Namun
demikian hal ini tidak mempengaruhi pembacaan Alquran , karena para sahabat dan
para tabiin adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu
mereka dapat membacanya dengan baik dan tepat. Akan tetapi setelah ajaran agama
Islam tersiar dan banyak bangsa yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam,
sulitlah bagi mereka membaca Alquran tanpa titik dan baris itu.
Apabila
keadaan demikian dibiarkan, dikhawatirkan bahwa hal ini akan menimbulkan
kesalahan-kesalahan dalam pembacaan Alquran.
Maka
Abu Aswad Ad-Duwali mengambil inisiatif untuk memberi tanda-tanda dalam Alquran
dengan tinta yang berlainan warnanya dengan tulisan Alquran. Tanda-tanda itu
adalah titik diatas untuk fathah, titik di bawah untuk kasrah, titik di sebelah
kiri atas untuk dhammah, dan dua titik untuk tanwin, hal ini terjadi pada masa
Muawiyah.
Kemudian
di masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), Nashir bin Ashim dan Yahya
bin Ya’mar menambahkan tanda-tanda untuk huruf-huruf yang bertitik dengan tinta
yang sama dengan tulisan Alquran. Itu adalah untuk membedakan antara maksud
dari titik Abul Aswad ad Duali dengan titik yang baru ini. Titik Abul Aswad
adalah untuk tanda baca dan titik Nashir bin Ashim adalah titik huruf. Cara
penulisan seperti ini tetap berlaku pada masa bani Umayyah, dan pada permulaan
Abbasiyah, bahkan tetap dipakai pula di Spanyol sampai pertengahan abad ke 4 H.
Kemudian ternyata cara pemberian tanda seperti ini menimbulkan kesulitan bagi
para pembaca Alquran, karena terlalu banyak titik, sedang titik itu
lama-kelamaan hampir menjadi serupa warnanya.
Maka
Al-Khalil mengambil inisiatif, untuk membuat tanda-tanda yang baru, yaitu huruf
waw kecil ( و) di atas untuk
tanda dhammah, huruf alif kecil (ا
) untuk tanda fathah, huruf ya kecil (ى)
untuk tanda kasrah, kepala huruf syin ( ّ ) untuk tanda
syaddah, kepala ha ( ه ) untuk sukun dan
kepala ‘ain (ع) untuk hamzah.
Kemudian
tanda-tanda ini dipermudah, dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang
ada sekarang ini.” [mukaddimah Al-Quran Terjemah maknawi hal. 111]
Bagi
para sahabat dan para tabi’in adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab
mereka tentu tidak kesulitan jika tidak ada titik dan harakat, sebagaimana kita
orang Indonesia bisa membaca SMS singkat tanpa konsonan vokal contohnya,
“sy
k sn sbntr lg, km tlg tgu d sn y”
Tentu
kita orang Indonesia bisa membacanya yaitu,
“saya
ke sana sebentar lagi, kamu tolong tunggu di sana ya”
>>Bahasa arab
ternyata punya mazhab juga
Sebagaimana
fiqh, bahasa Arab juga ada dua mazhab yaitu mazhab Kufiyah dan Bashriyah,
karena bahasa Arab berkembang di dua kota besar Kufah dan Bashroh. [lihat Qowa’idul
asasiyah lillughotil arobiyah hal. 6]
Oleh
karena itu kita dapati ada perbedaan pendapat dalam menentukan i‘rab/kedudukan
kata. Perbedaan ini semakin menambah khazanah bahasa Arab dan membuatnya saling
melengkapi.
Contohnya
di Indonesia kita sering mendengar istilah [أسماء
الخمسة] “asma’ul khamsah”, sedangkan dalam mazhab lain dikenal
dengan istilah [أسماء الستة] “asma’us
sittah”.
Begitu
juga dengan perbedaan qiraatnya yang dikenal dengan “qiraat sab’ah” yaitu
tujuh qiraat yang mutawatir [banyak perawinya]. Dan totalnya ada 14 qiraat. Ini
juga semakin menambah khazanah bahasa Arab.
>>Jika huruf [ج] “jim” dan [ن] “nun” bertemu
Sesuatu
yang unik dalam bahasa Arab adalah jika kedua huruf ini bertemu maka artinya
tidak jauh dari:
-
tersembunyi
-
terlindungi
-
tertutupi
Kita
lihat contoh,
-[جنين] “janin”: yaitu janin dalam kandungan, maka ia sesatu
yang tertutup dan terlindungi
-[جن] “jin” : yaitu sejenis makhluk halus, maka ia
tersembunyi dan tertutupi
-[جنة] “junnah”: tutup tabir/ perisai, maka ia untuk menutupi
-[جنة]”jannah” : surga/kebun, karena ia tertutupi dan
terlindungi oleh pohon-pohon yang rindang
-[جنون] “junuun” : gila, karena akalnya tertutupi
-[جنن] “janan” : kubur, kuburan pasti tertutup
-[جنان] “janaan” : malam atau gelapnya malam, malam juga tertutupi
dengan gelapnya
>>Ada beberapa
kata yang bentuknya hampir sama, artinya juga hampir sama
Hanya
berbeda satu huruf saja atau hurufnya sama hanya berubah posisi, artinya juga
tidak terlalu beda jauh. Contohnya,
-[الحمد] “al-hamdu” dan [المدح]
“al-madhu”
Keduanya
sama hurufnya tapi berbeda letaknya, artinya sama yaitu memuji.
Akan
tetapi ada perbedaan yaitu,
[الحمد] “al-hamdu”:
- Hanya diberikan
kepada perbuatan baik seseorang atau pada sifat-sifat mulia
- Hanya diberikan
kepada yang hidup dan berakal
- Pengucapan
pujiannya mengandung mahabah
Sedangkan
[المدح] “al-madhu”:
- Boleh diberikan
kepada seseorang yang telah berbuat baik atau tidak atau seseorang yang
jelek akhlaknya
- Umum, boleh
diberikan kepada sesuatu yang mati dan tidak berakal
- Tidak mengandung
mahabah
Oleh
karena itu Allah menggunakan [الحمد]
“al-hamdu” dalam [الحمد
لله رب العالمين] “alhamdulillahi rabbil ‘alamin”.
Oleh
karena itu [المداحينن] “al-mudaahiin”
dalam bahasa Indonesia bisa diartikan penjilat, karena mereka memuji
seseorang tanpa memandang apakah orang itu telah berbuat kebaikan atau tidak,
atau memang pantas dipuji karena memiliki sifat-sifat yang mulia atau tidak dan
mereka memujinya tanpa ada rasa mahabah.
Contoh
lainnya,
-[نجح] “najaha” dan [نجا]
“najaa”
Hanya
Berbeda satu huruf yang hampir sama bunyinya
[نجح] “najaha”artinya: sukses, berhasil, lulus
[نجا] “najaa” artinya: selamat, lolos, lepas dari bahaya
Urgensi belajar bahasa
Arab
masih
banyak lagi keunikan-keunikan bahasa Arab yang jika kita bahas agak menyusahkan
dan membingungkan bagi mereka yang belum menguasai dasar-dasar bahasa Arab.
misalnya yang dibahas dalam ilmu balaghah bahasa Arab seperti,
-mendahulukan
maf’ul bih/ objek menunjukan pembatasan, seperti dalam, “iyyaka
na’budu”
Maka
pembatasan hanya kepada Allah saja kita menyembah.
-pengulangan
isim nakirah berarti berbeda dengan sebelumnya dan pengulangan isim ma’rifah
berarti sama dengan sebelumnya. Contohnya dalam pengulangan ayat,
“inna
ma’al ‘usri yusro wa inna ma’al ‘usri yusro”.
“al-‘usri”/kesulitan adalah isim ma’rifah jadi
sama dengan sebelumnya, sedangkan “yusro”/kemudahan adalah isim nakirah
yang artinya berbeda dengan sebelumnya [artinya ada kemudahan yang lain].
Sehingga dikenal ungkapan, satu kesulitan dua kemudahan.
-penghapusan
ma’ful bih/ objek menunjukan keumuman
Sehingga
tidak boleh mengatakan “jazaakallahu” saja, karena ma’ful bih/ objek
tidak ada, maka berlaku umum, bisa balasan yang baik atau balasan yang buruk.
Jadi sebaiknya dilengkapi menjadi “jazaakallahu khoiron”
وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا
لَقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آيَاتُهُ
“Dan
jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab,
tentulah mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?… [Fushshilat: 44]
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan,
وأنه لو جعله قرآنا أعجميًا، بلغة غير
العرب، لاعترض، المكذبون وقالوا: {لَوْلا فُصِّلَتْ آيَاتُهُ} أي: هلا بينت آياته
“Seandainya
Allah menjadikan Al-Qur’an dengan bahasa selain bahasa Arab, maka sungguh
akan tertolak/terhalangi dan didustakan, mereka [orang-orang tidak beriman]
akan berkata “mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”. [Taisir Karimir Rahmah hal 717,
Daru Ibnu Hazm, Beirut, cetakan pertama, 1424 H]
sebelumnya