Hadits A:
Sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya air daripada air.(1) Air yang
pertama ialah mandi manakala air yang kedua ialah air mani. Justeru maksudnya
adalah Sesungguhnya mandi menjadi wajib karena keluarnya air mani. Ini
adalah termasuk salah satu seni sastera Arab (ilmu Badi’) yang disebut
sebagai Jinasut Tam – iaitu persamaan lafaz dua perkataan tetapi berbeda
maksudnya.
Hadits B:
Sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam:
Apabila
telah duduk antara 4 anggota dan bersentuhan alat kelamin dengan kelamin,
maka wajiblah mandi (ghusl). (2) Duduk
antara 4 anggota adalah bahasa kiasan yang berarti sedang berlakunya
persetubuhan.
Nampak pertentangan antara Hadits A dan B di atas. Hadits A hanya mewajibkan
mandi wajib apabila telah keluar air mani ketika persetubuhan manakala hadits B
mewajibkan mandi wajib apabila terjadi persetubuhan tanpa melihat keluar atau
tidak air mani. Pertentangan ini dapat dihilangkan apabila kita mengkaji sejarah
dan latar belakang kedua hadits.
Hadits A sebenarnya diperintahkan di zaman awal Islam sebagai satu kemudahan
bagi umat manakala Hadits B diperintahkan di zaman pertengahan atau akhir Islam
apabila umat sudah biasa dan faham dengan hukum dan hikmah mandi wajib. Dengan
itu Hadits B membatalkan Hadits A. Petunjuk kepada terbatalnya hukum Hadits A
adalah dari keterangan sahabat sendiri, yaitu Ubay bin Ka‘ab radiallahu ‘anhu:
Sesungguhnya
air dengan air adalah ia satu rukhsah (kemudahan) yang dipermudahkan oleh
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pada awal zaman atau di permulaan Islam.
Kemudian beliau memerintahkan mandi wajib sesudah itu (sesudah bersetubuh).(3)
Kasus di atas disebut sebagai Nasikh dan
Mansukh. Hadits yang membatalkan disebut nasikh manakala hadits
yang dibatalkan disebut mansukh. Hikmah wujudnya nasikh dan mansukh
adalah karena Islam mendidik dan mentarbiyah umatnya secara bertahap, tidak
secara mendadak dan terburu-buru. Apabila mensyari‘atkan sesuatu hukum, Islam
mengambil ukuran kondisi umat terlebih dahulu, khususnya dalam kekuatan akidah,
iman dan taqwa mereka, serta kefahaman mereka terhadap tujuan-tujuan syari‘at.
Pada awalnya syari‘at Islam lebih bersifat
memelihara akidah umat dan memudahkan hukum-hakam, yakni apabila berkaitan
akidah umat, syari‘at bersifat melarang. Manakala dalam kaitan hukum-hakam,
syari‘at bersifat menganjurkan daripada mewajibkan, mencegah daripada
mengharamkan. Apabila akidah, keimanan, ketaqwaan dan kefahaman umat bertambah
kukuh, diturunkan hukum-hukum baru yang mewakili kehendak sebenar syari‘at
Islam. Hukum-hukum baru ini (nasikh) membatalkan hukum-hukum yang awal
tersebut (mansukh).
Oleh itu salah satu langkah yang perlu
ditempuh oleh seseorang dalam menghilangkan pertentangan antara hadits (setelah
disimak bahwa kedua-duanya adalah sahih) ialah menyimak adakah salah satu
daripadanya telah dibatalkan.
Perkara penting yang perlu ditekankan
adalah, sebelum seseorang itu mengatasi pertentangan antara dua hadits
berdasarkan kaedah nasikh dan mansukh, dia perlu memiliki
keterangan yang sahih bahwa hadits tersebut telah dibatalkan hukumnya.
Keterangan tersebut boleh berasal daripada Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam atau para sahabat sendiri (seperti contoh di atas). Juga dengan
mengkaji sebab-sebab lahirnya sesuatu hadits (asbabul wurud). Jika
seseorang tidak berhati-hati dalam hal ini, dia menghadapi risiko menghukum
batal sebuah nas syari‘at yang sebenarnya masih sah diperlakukan.
Sebagian pihak berpendapat, hadits nasikh dan mansukh dapat
diketahui pasti dengan menyimak siapakah sahabat yang meriwayatkannya. Sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh sahabat senior dikatakan berasal dari zaman awal
Islam manakala hadits yang diriwayatkan oleh sahabat junior dikatakan
berasal dari zaman akhir Islam.
Oleh itu apabila wujud pertentangan antara dua hadits, yang
pertama diriwayatkan oleh sahabat senior dan yang kedua diriwayatkan
oleh sahabat junior, dianggap bahawa hadits kedua tersebut membatalkan hadits
pertama.
Kaedah ini kurang tepat karena diketahui bahwa sahabat junior
sering kali meriwayatkan sesuatu hadits yang mereka pelajari dari sahabat senior.
Contohnya ‘Abd Allah ibn Abbas dan Abu Hurairah radiallahu ‘anhuma adalah dua
orang sahabat junior yang sangat rajin belajar hadits dari sahabat yang senior.
Oleh itu mungkin saja mereka menyampaikan hadits yang mereka pelajari daripada
sahabat-sahabat senior tersebut lalu kita menafsirkan pula ia sebagai hadits
dari akhir zaman padahal ia adalah hadits dari awal zaman.
epatnya hadits nasikh
dan mansukh ditentukan berdasarkan keterangan Rasulullah, para
sahabat dan asbabul wurud. Jika dengan 3 kaedah ini tidak dapat dipastikan
antara hadits nasikh dan mansukh, maka gunakanlah kaedah al-Jam‘u
– yaitu menghimpunkan hadits-hadits atau Tarjih – Yaitu mengutamakan
salah satu dari dua dalil yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang
dapat mengunggulkannya.
***
(1)Sahih: Hadits
daripada Abu Sa‘id al-Khudri
radiallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Ahmad, Muslim, al-Tirmizi dan lain-lain,
lihat Sahih Muslim – no: 343. (Kitab Haid, Bab Wajibnya mandi apabila
keluar mani).
No comments:
Post a Comment