Apr 11, 2014

Mandi Junub



Hadits A:
Sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya air daripada air.(1) Air yang pertama ialah mandi manakala air yang kedua ialah air mani. Justeru maksudnya adalah Sesungguhnya mandi menjadi wajib karena keluarnya air mani. Ini adalah termasuk salah satu seni sastera Arab (ilmu Badi’) yang disebut sebagai Jinasut Tam – iaitu persamaan lafaz dua perkataan tetapi berbeda maksudnya.
Hadits B:
Sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:
Apabila telah duduk antara 4 anggota dan bersentuhan alat kelamin dengan kelamin, maka  wajiblah mandi (ghusl). (2) Duduk antara 4 anggota adalah bahasa kiasan yang berarti sedang berlakunya persetubuhan.
             Nampak pertentangan antara Hadits A dan B di atas. Hadits A hanya mewajibkan mandi wajib apabila telah keluar air mani ketika persetubuhan manakala hadits B mewajibkan mandi wajib apabila terjadi persetubuhan tanpa melihat keluar atau tidak air mani. Pertentangan ini dapat dihilangkan apabila kita mengkaji sejarah dan latar belakang kedua hadits.
              Hadits A sebenarnya diperintahkan di zaman awal Islam sebagai satu kemudahan bagi umat manakala Hadits B diperintahkan di zaman pertengahan atau akhir Islam apabila umat sudah biasa dan faham dengan hukum dan hikmah mandi wajib. Dengan itu Hadits B membatalkan Hadits A. Petunjuk kepada terbatalnya hukum Hadits A adalah dari keterangan sahabat sendiri, yaitu Ubay bin Ka‘ab radiallahu ‘anhu:
Sesungguhnya air dengan air adalah ia satu rukhsah (kemudahan) yang dipermudahkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pada awal zaman atau di permulaan Islam. Kemudian beliau memerintahkan mandi wajib sesudah itu (sesudah bersetubuh).(3)
Kasus di atas disebut sebagai Nasikh dan Mansukh. Hadits yang membatalkan disebut nasikh manakala hadits yang dibatalkan disebut mansukh. Hikmah wujudnya nasikh dan mansukh adalah karena Islam mendidik dan mentarbiyah umatnya secara bertahap, tidak secara mendadak dan terburu-buru. Apabila mensyari‘atkan sesuatu hukum, Islam mengambil ukuran kondisi umat terlebih dahulu, khususnya dalam kekuatan akidah, iman dan taqwa mereka, serta kefahaman mereka terhadap tujuan-tujuan syari‘at.
Pada awalnya syari‘at Islam lebih bersifat memelihara akidah umat dan memudahkan hukum-hakam, yakni apabila berkaitan akidah umat, syari‘at bersifat melarang. Manakala dalam kaitan hukum-hakam, syari‘at bersifat menganjurkan daripada mewajibkan, mencegah daripada mengharamkan. Apabila akidah, keimanan, ketaqwaan dan kefahaman umat bertambah kukuh, diturunkan hukum-hukum baru yang mewakili kehendak sebenar syari‘at Islam. Hukum-hukum baru ini (nasikh) membatalkan hukum-hukum yang awal tersebut (mansukh).
Oleh itu salah satu langkah yang perlu ditempuh oleh seseorang dalam menghilangkan pertentangan antara hadits (setelah disimak bahwa kedua-duanya adalah sahih) ialah menyimak adakah salah satu daripadanya telah dibatalkan.
Perkara penting yang perlu ditekankan adalah, sebelum seseorang itu mengatasi pertentangan antara dua hadits berdasarkan kaedah nasikh dan mansukh, dia perlu memiliki keterangan yang sahih bahwa hadits tersebut telah dibatalkan hukumnya. Keterangan tersebut boleh berasal daripada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam atau para sahabat sendiri (seperti contoh di atas). Juga dengan mengkaji sebab-sebab lahirnya sesuatu hadits (asbabul wurud). Jika seseorang tidak berhati-hati dalam hal ini, dia menghadapi risiko menghukum batal sebuah nas syari‘at yang sebenarnya masih sah diperlakukan.
             Sebagian pihak berpendapat, hadits nasikh dan mansukh dapat diketahui pasti dengan menyimak siapakah sahabat yang meriwayatkannya. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat senior dikatakan berasal dari zaman awal Islam manakala hadits yang diriwayatkan oleh sahabat junior dikatakan berasal dari zaman akhir Islam.
Oleh itu apabila wujud pertentangan antara dua hadits, yang pertama diriwayatkan oleh sahabat senior dan yang kedua diriwayatkan oleh sahabat junior, dianggap bahawa hadits kedua tersebut membatalkan hadits pertama.
Kaedah ini kurang tepat karena diketahui bahwa sahabat junior sering kali meriwayatkan sesuatu hadits yang mereka pelajari dari sahabat senior. Contohnya ‘Abd Allah ibn Abbas dan Abu Hurairah radiallahu ‘anhuma adalah dua orang sahabat junior yang sangat rajin belajar hadits dari sahabat yang senior. Oleh itu mungkin saja mereka menyampaikan hadits yang mereka pelajari daripada sahabat-sahabat senior tersebut lalu kita menafsirkan pula ia sebagai hadits dari akhir zaman padahal ia adalah hadits dari awal zaman.
epatnya hadits nasikh dan mansukh ditentukan berdasarkan keterangan Rasulullah, para sahabat dan asbabul wurud. Jika dengan 3 kaedah ini tidak dapat dipastikan antara hadits nasikh dan mansukh, maka gunakanlah kaedah al-Jam‘u  – yaitu menghimpunkan hadits-hadits atau Tarjih – Yaitu mengutamakan salah satu dari dua dalil yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang dapat mengunggulkannya.
***
          (1)Sahih: Hadits daripada Abu Said al-Khudri radiallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Ahmad, Muslim, al-Tirmizi dan lain-lain, lihat Sahih Muslim – no: 343. (Kitab Haid, Bab Wajibnya mandi apabila keluar mani).
          (2)Sahih: Hadits daripada ‘A‘isyah radiallahu ‘anha, dikeluarkan oleh Ahmad, Muslim dan lain-lain, lihat Sahih Muslim – no: 349. (Kitab Haid, Bab Nasikh wajibnya mandi apabila keluar air mani).
         (3)Sanad Sahih: Dikeluarkan oleh Ahmad, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban, sanadnya dinilai sahih oleh Syu‘aib al-Arna’uth dalam semakannya ke atas Sahih Ibn Hibban – no: 1179. (Kitab Taharah, Bab Mandi Wajib).

No comments:

Post a Comment