May 15, 2014

Menyikapi Musibah



Apabila ditimpa musibah, sikap yang utama ialah ridha kepadanya, yaitu hati dalam keadaan tenteram lagi senang menerimanya. Sikap ini pada hakikatnya amat sukar dan jarang-jarang dapat dicapai oleh manusia sekalipun tidak mustahil. Ridha adalah sikap yang utama tetapi bukan wajib.

Sikap yang berada di bawah tahap ridha ialah sabar, yakni menahan diri dari memarahi Allah dan mempersoalkan taqdir Allah. Juga menahan diri dari mengeluarkan kata-kata yang kotor dalam apa jua bahasa umpama “Celaka!” dan dari bertindak dengan menzalimi diri sendiri atau orang lain umpama menangis meraung-raung, merobek-robek pakaian, mencakar muka dan sebagainya.

Bersabar ke atas musibah adalah satu kewajipan. Ini karena merutuki atau mempersoalkan Allah Subhanahu waTa’ala adalah dilarang berdasarkan firman-Nya:
 لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia (Allah) tidak boleh ditanya tentang apa yang Dia lakukan, sedang merekalah yang akan ditanya kelak. [al-Anbiya’ 21:23]

Sebaliknya dibolehkan memohon pertolongan dan mengadu kepada Allah akan musibah yang dihadapi. Nabi Yaakub ‘alaihi sallam pernah memohon pertolongan terhadap musibah yang dihadapinya kepada Allah:

Kalau demikian, bersabarlah aku dengan sebaik-baiknya dan Allah jualah yang dimohon pertolongan-Nya mengenai apa yang kamu katakan itu. [Yusuf 12:18]
Nabi Yaakub selanjutnya mengadu kepada Allah:
Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." [Yusuf 12:86]
Nabi Ayyub ‘alaihis salam juga mengadu kepada Allah terhadap musibah yang menimpanya:
 Dan (sebutkanlah peristiwa) Nabi Ayyub, ketika dia mengadu kepada Tuhannya dengan berkata: “Sesungguhnya aku ditimpa penyakit, sedang Engkaulah saja yang lebih mengasihani dari segala (yang lain) yang mengasihani.” [al-Anbiya’ 21:83]

Mengeluarkan kata-kata yang kotor adalah dilarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam.(1)
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْبَذِيءِ وَلاَ الْفَاحِشِ
Bukanlah sifat seorang mukmin untuk mencela, melaknat, berkata kotor dan berkata keji.(2)

Menangis meraung-raung, merobek-robek pakaian, mencakar muka dan sebagainya termasuk dalam perbuatan meratap yang dilarang oleh Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Empat perkara yang dilakukan oleh umatku yang berasal daripada tradisi Jahiliyyah yang belum mereka tinggalkan: berbangga-bangga dengan keturunan, mencela keturunan, mempercayai hujan turun berdasarkan ramalan bintang dan meratapi kematian. (3)

Sebaliknya menangis dibolehkan. Ketika anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang bernama Ibrahim meninggal dunia, baginda meneteskan air mata. Para sahabat bertanya berkenaan hal itu, maka baginda bersabda:
S
esungguhnya meneteskan air mata dan hati bersedih akan tetapi kami tidak berkata-kata kecuali apa yang diridhai oleh Tuhan kami. Sesungguhnya kami benar-benar bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim. (4)

Andai ditimpa musibah, maka sebutkanlah kalimah istirja’: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Kalimah ini bermaksud: Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali. Kalimah ini disebut apabila ditimpa musibah umpama penyakit, kemalangan, kehilangan harta benda dan kematian. Ia tidak diperuntukkan kepada musibah kematian saja sebagaimana yang dipahami oleh sebagian masyarakat.

Kalimah istirja’ menghubungkan kita kepada Allah Subhanahu waTa’ala, sekaligus mengingatkan kita kepada Allah dan bahwa apa yang ada pada kita sebelum ini adalah milik Allah. Allah memberi kita apa yang Dia kehendaki dan mengambil dari kita apa yang Dia kehendaki. Semua yang ada pada kita sebenarnya adalah milik Allah sehingga tidak layak untuk kita marah, mengeluh atau bertindak zalim seandainya Allah mengambilnya kembali.

Kalimah istirja’ diajar oleh Allah Subhanahu waTa’ala di dalam al-Qur’an. Sesiapa yang ditimpa musibah lalu mengucapnya dengan penuh kefahaman, kesedaran dan kesabaran, maka dia memperoleh kebaikan, rahmat dan hidayah daripada Allah. Tentu saja tiga perkara ini jauh lebih baik dari apa yang Allah ambil darinya. Firman Allah:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. [al-Baqarah 2:155-157
****

  (1)Sahih: Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya, hadits no: 67 (Kitab al-Iman, Bab memulia dan menghormati tetangga...).
   (2)Sahih: Dikeluarkan oleh Ibn Hibban dalam Shahihnya, hadits no: 192 (Kitab al-Iman, Bab ciri-ciri wajib iman) dan disetujui sahih oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam simakannya ke Shahih Ibn Hibban.
  (3)Sahih: Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya, hadits no: 1550 (Kitab al-Jana’iz, Bab amaran daripada meratap).
  (4)Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, hadits no: 1220 (Kitab al-Jana’iz, Bab sabda Nabi: “Sesungguhnya kami benar-benar sedih dengan kepergianmu”).

No comments:

Post a Comment