Banyak sekali yang mengkisahkan sahabat nabi bernama
Tsa’labah dari mulut ke mulut, juga disebarkan dalam buku-buku, dan situs-situs
Islam. Mereka menceritakan bahwa Tsa’labah dulunya seorang yang miskin dan taat
ibadah, tapi ketika Allah Ta’ala memberikannya kekayaaan dengan banyaknya
ternak peliharaannya akhirnya dia durhaka kepada Allah Ta’ala hingga wafatnya.
Berikut ini selengkapnya kisah Tsa’labah bin Haathib:
Berikut ini selengkapnya kisah Tsa’labah bin Haathib:
دثنا أبو يزيد القراطيسي ثنا أسد بن موسى
ثنا الوليد بن مسلم ثنا معان بن رفاعة عن علي بن يزيد عن القاسم عن أبي أمامة أن
ثعلبة بن حاطب الأنصاري : أتى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله
أدع الله أن يرزقني الله قال : ويحك يا ثعلبة قليل تؤدي شكره خير من كثير لا تطيقه
ثم رجع إليه فقال : يا رسول الله أدع الله أن يرزقني مالا قال
ويحك يا ثعلبة أما تريد أن تكون مثل رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ والله لو
سألت أن يسيل لي الجبال ذهبا وفضة لسالت ثم رجع إليه فقال : يا رسول الله أدع الله
أن يرزقني مالا والله لئن أتاني الله مالا لأوتين كل ذي حق حقه فقال رسول الله صلى
الله عليه و سلم : اللهم ارزق ثعلبة مالا فاتخذ غنما فنمت كما ينمو الدود حتى ضاقت
عنها أزقة المدينة فتنحى بها وكان يشهد الصلاة مع رسول الله صلى الله عليه و سلم
ثم يخرج إليها ثم نمت حتى تعذرت عليه مراعي المدينة فتنحى بها فكان يشهد الجمعة مع
رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم يخرج إليها ثم نمت فتنحى بها فترك الجمعة
والجماعات فيتلقى الركبان ويقول ماذا عندكم من الخبر ؟ وما كان من أمر الناس ؟
فأنزل الله عز و جل على رسوله صلى الله عليه و سلم { خذ من أموالهم صدقة تطهرهم
وتزكيهم بها } قال : فاستعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم على الصدقات رجلين رجل
من الأنصار ورجل من بني سليم وكتب لهما سنة الصدقة وأسنانها وأمرهما أن يصدقا
الناس وإن يمرا بثعلبة فيأخذا من صدقة ماله ففعلا حتى ذهبا إلى ثعلبة فأقرآه كتاب
رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : صدقا الناس فإذا فرغتما فمرا بي ففعلا فقال
: والله ما هذه إلا أخية الجزية فانطلقا حتى لحقا رسول الله صلى الله عليه و سلم
وأنزل الله عز و جل على رسوله صلى الله عليه و سلم { ومنهم من عاهد الله لئن آتانا
من فضله } إلى قوله { يكذبون } قال : فركب رجل من الأنصار قريب لثعلبة راحلة حتى
أتى ثعلبة فقال ويحك يا ثعلبة هلكت أنزل الله عز و جل فيك القرآن كذا فأقبل ثعلبة
ووضع التراب على رأسه وهو يبكي ويقول : يا رسول الله يا رسول الله فلم يقبل منه
رسول الله صلى الله عليه و سلم صدقته حتى قبض الله رسول الله صلى الله عليه و سلم
ثم أتى أبا بكر رضي الله عنه بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : يا أبا بكر
قد عرفت موقعي من قومي ومكاني من رسول الله صلى الله عليه و سلم فاقبل مني فأبى أن
يقبله ثم أتى عمر رضي الله عنه فأبى أن يقبل منه ثم أتى عثمان رضي الله عنه فأبى
أن يقبل منه ثم مات ثعلبة في خلافة عثمان رضي الله عنه
Telah
bercerita kepada kami Abu Yazid Al Qarathisy, bercerita kepada kami Asad bin
Musa, bercerita kepada kami Al Walid bin Muslim, bercerita kepada kami Mu’aan
bin Rifa’ah, dari Ali bin Yazid, dari Al Qasim, dari Abu Umamah, bahwa
Tsa’labah bin Hathib Al Anshari mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dan berkata: “Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku diberikan harta.”
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Celaka engkau wahai
Tsa’labah! Sedikit yang engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang
engkau tidak sanggup mensyukurinya.” Kemudian Tsa’labah kembali kepadanya, dan
berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar saya diberikan harta.”
Nabi bersabda: “Apakah engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah? Demi yang
diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung-gunung mengalirkan perak dan
emas, niscaya akan mengalir untukku. ” Kemudian ia (Tsa’labah) berkata: “Demi
Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau meminta kepada Allah agar
aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya kepada
yang berhak menerimanya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berdo’a: “Ya Allah, berikankanlah harta kepada Tsa’labah.” Kemudian ia
mendapatkan seekor kambing, lalu kambing itu tumbuh beranak, sebagaimana
tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya. Sesudah itu, Tsa’labah
menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah. Karena kesibukannya, ia hanya
berjama’ah pada shalat zhuhur dan ‘ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat
lainnya. Kemudian kambing itu semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan
shalat berjama’ah sampai shalat Jum’at juga ia tinggalkan. Suatu saat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada para Shahabat: “Apa
yang dilakukan Tsa’labah?” Mereka menjawab: “Ia mendapatkan seekor kambing,
lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam mengutus dua orang untuk mengambil
zakatnya seraya bersabda: “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan
dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua.” Lalu keduanya pergi
mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya disana dibacakan surat
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan serta merta Tsa’labah
berkata: “Apakah yang kalian minta dari saya ini, pajak atau semisalnya? Aku
mengerti apa sebenarnya yang kalian minta ini!” Lalu keduanya pulang dan
menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tatkala beliau melihat
kedua-nya (pulang tidak membawa hasil), sebelum mereka berbicara, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celaka engkau, wahai Tsa’labah! Lalu
turun ayat: “Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah:
‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami,
pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang
shalih.’ Maka, setelah Allah mem-berikan kepada mereka sebahagian dari
karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka
memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. At Taubah
(9): 75-76) Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, ia mohon agar diterima zakatnya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam langsung menjawab: “Allah telah melarangku menerima zakatmu.” Hingga
Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, beliau tidak mau menerima sedikit
pun dari zakatnya. Dan Abu Bakar, ‘Umar, serta ‘Utsman pun tidak menerima
zakatnya di masa kekhilafahan mereka. Tsa’labah wafat pada masa kekhilafahan
Utsman bin ‘Affan.
Kisah ini diriwayatkan oleh:
- Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1310
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 4357
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 7873
- Imam Abu Bakar Asy Syaibani dalam Al Aahad wal Matsani No. 687
- Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jami’ul Bayan, No. 16987
- Imam Ibnu Abi Hatim Ar Razi dalam Tafsirnya No. 10638
- Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Li Ahkam Al Quran, 8/208
- Imam Al Baghawi dalam Ma’alim At Tanzil, 4/76
- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/183-184
- Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 11/207-208
- Imam Abul Husein Abdul Baqi bin Qani’, Mu’jam Ash Shahabah, No. 127
- Dan lainnya.
Kisah ini tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab diriwayatkan oleh beberapa rawi yang dhaif, yakni:
1. Mu’aan bin Rifa’ah As Sulami
Mayoritas imam jarh wa ta’dil mendhaifkannya. Yahya mengatakan: dhaif. Ar Razi dan As Sa’di mengatakan: laisa bihujjah (bukan hujjah). Ibnu Hibban mengatakan: “haditsnya tidak serupa dengan hadits-hadits yang kuat maka mesti ditinggalkan.” Al Azdi mengatakan: “haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, No. 3353. Lihat juga Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 3/36)
Al Jauzajaani mengatakan: bukan hujjah. Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – lemah haditsnya. Imam Ibnu Hibban mengatakan: munkarul hadits. Ibnu ‘Adi mengatakan: “kebanyakan hadits darinya tidak bisa diikuti.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 10/182)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Saya telah membaca tulisan Adz Dzahabi, bahwa Mu’aan wafat sekitar bersamaan dengan Al Auza’i, dan dia (Mu’aan) adalah pemilik hadits yang tidak teliti (mutqin).” (Ibid. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, No. 8619)
Abu Hatim mengatakan: haditsnya boleh ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujjah. Yahya mengatakan: dhaif. (Imam Adz Dzahabi, Al Kasyif No. 5513)
Hanya sedikit yang mentsiqahkan, Duhaim mengatakan: tsiqah. (Ibid), begitu pula Ali bin Al Madini. (Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fi Adh Dhuafa, No. 6309), Imam Ahmad mengatakan: laa ba’sa bihi – tidak apa-apa. (Imam Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad Dam, Hal. 152), Muhammad bin ‘Auf dan Abu Daud mengatakan: tidak apa-apa. (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahzib, 10/182)
Lalu bagaimana menilai Mu’aan bin Rifa’ah ini? Di tengah badai kritikan baginya namun ada pula yang memujinya. Kaidahnya adalah: jarh mufassar muqaddamun ‘ala ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih diutamakan dibanding pujian yang masih umum. Maka, dia tetap seorang perawi yang dhaif, sebab kritikan (jarh) yang diterimanya telah dirinci sebagaimana rincian Ibnu Hibban,ada pun pujiannya (ta’dil) masih bersifat umum. Wallahu A’lam
2. Ali bin Yazid Abu Abdul Malik
Imam An Nasa’i mengatakan: matrul hadits – haditsnya ditinggalkan. Imam Bukhari mengatakan: munkarul hadits – haditsnya munkar. (Imam Al Muqrizi, Al Mukhtashar Al Kamil fi Adh Dhuafa, No. 1338, Lihat juga Al ‘Uqaili dalam Adh Dhuafa, No. 1259)
Imam Ad Daruquthni memasukannya dalam kitabnya Adh Dhuafa wa Matrukin. (No. 408), selain itu beliau juga didhaifkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Hatim, dan Imam Abu Zur’ah. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wa At Ta’dil, No. 1142)
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Mu’aan bin Rifa’ah, Al Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid, semuanya adalah dhaif.” (Al Muhalla, 11/208)
Oleh karena itu, segenap para ulama pun telah mendhaifkan hadits ini.
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Hadza Baathil, li anna tsa’labah badriy ma’ruuf- hadits ini batil, karena Tsa’labah adalah dikenal sebagai Ahli Badar. ” (Lihat Al Muhalla, 11/208)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Dhaif jiddan – lemah sekali.” (Takhrij Ahadits Al Kasyaaf, Hal. 77), juga didhaifkan oleh Imam As Suyuthi. (Asbabun Nuzul, Hal. 121), Imam Al ‘Iraqi. (Takhrij Ahadits Al Ihya’, 3/338), Imam Al Qurthubi. (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 8/210)
Syaikh Ali Hasyisy mengatakan dhaif jiddan. (Lihat Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 248, No. 158), Syaikh Al Albani juga mengatakan: dhaif jiddan. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 1607)
Hadits ini selain dhaif riwayatnya, tapi juga buruk secara makna, yakni telah menjadikan salah satu sahabat nabi yang mulia, bernama Tsa’labah bin Haathib seorang Ahli Badar dan golongan Anshar, sebagai sosok yang durhaka. Hal ini merupakan tuduhan yang berat kepadanya, dan dusta terhadapnya. Padahal Ahli Badar telah Allah Ta’ala maafkan dan diampuni dosa-dosanya, dan dijamin masuk surga, sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits shahih.
Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Kisah ini diriwayatkan oleh:
- Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1310
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 4357
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 7873
- Imam Abu Bakar Asy Syaibani dalam Al Aahad wal Matsani No. 687
- Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jami’ul Bayan, No. 16987
- Imam Ibnu Abi Hatim Ar Razi dalam Tafsirnya No. 10638
- Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Li Ahkam Al Quran, 8/208
- Imam Al Baghawi dalam Ma’alim At Tanzil, 4/76
- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/183-184
- Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 11/207-208
- Imam Abul Husein Abdul Baqi bin Qani’, Mu’jam Ash Shahabah, No. 127
- Dan lainnya.
Kisah ini tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab diriwayatkan oleh beberapa rawi yang dhaif, yakni:
1. Mu’aan bin Rifa’ah As Sulami
Mayoritas imam jarh wa ta’dil mendhaifkannya. Yahya mengatakan: dhaif. Ar Razi dan As Sa’di mengatakan: laisa bihujjah (bukan hujjah). Ibnu Hibban mengatakan: “haditsnya tidak serupa dengan hadits-hadits yang kuat maka mesti ditinggalkan.” Al Azdi mengatakan: “haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, No. 3353. Lihat juga Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 3/36)
Al Jauzajaani mengatakan: bukan hujjah. Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – lemah haditsnya. Imam Ibnu Hibban mengatakan: munkarul hadits. Ibnu ‘Adi mengatakan: “kebanyakan hadits darinya tidak bisa diikuti.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 10/182)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Saya telah membaca tulisan Adz Dzahabi, bahwa Mu’aan wafat sekitar bersamaan dengan Al Auza’i, dan dia (Mu’aan) adalah pemilik hadits yang tidak teliti (mutqin).” (Ibid. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, No. 8619)
Abu Hatim mengatakan: haditsnya boleh ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujjah. Yahya mengatakan: dhaif. (Imam Adz Dzahabi, Al Kasyif No. 5513)
Hanya sedikit yang mentsiqahkan, Duhaim mengatakan: tsiqah. (Ibid), begitu pula Ali bin Al Madini. (Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fi Adh Dhuafa, No. 6309), Imam Ahmad mengatakan: laa ba’sa bihi – tidak apa-apa. (Imam Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad Dam, Hal. 152), Muhammad bin ‘Auf dan Abu Daud mengatakan: tidak apa-apa. (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahzib, 10/182)
Lalu bagaimana menilai Mu’aan bin Rifa’ah ini? Di tengah badai kritikan baginya namun ada pula yang memujinya. Kaidahnya adalah: jarh mufassar muqaddamun ‘ala ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih diutamakan dibanding pujian yang masih umum. Maka, dia tetap seorang perawi yang dhaif, sebab kritikan (jarh) yang diterimanya telah dirinci sebagaimana rincian Ibnu Hibban,ada pun pujiannya (ta’dil) masih bersifat umum. Wallahu A’lam
2. Ali bin Yazid Abu Abdul Malik
Imam An Nasa’i mengatakan: matrul hadits – haditsnya ditinggalkan. Imam Bukhari mengatakan: munkarul hadits – haditsnya munkar. (Imam Al Muqrizi, Al Mukhtashar Al Kamil fi Adh Dhuafa, No. 1338, Lihat juga Al ‘Uqaili dalam Adh Dhuafa, No. 1259)
Imam Ad Daruquthni memasukannya dalam kitabnya Adh Dhuafa wa Matrukin. (No. 408), selain itu beliau juga didhaifkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Hatim, dan Imam Abu Zur’ah. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wa At Ta’dil, No. 1142)
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Mu’aan bin Rifa’ah, Al Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid, semuanya adalah dhaif.” (Al Muhalla, 11/208)
Oleh karena itu, segenap para ulama pun telah mendhaifkan hadits ini.
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Hadza Baathil, li anna tsa’labah badriy ma’ruuf- hadits ini batil, karena Tsa’labah adalah dikenal sebagai Ahli Badar. ” (Lihat Al Muhalla, 11/208)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Dhaif jiddan – lemah sekali.” (Takhrij Ahadits Al Kasyaaf, Hal. 77), juga didhaifkan oleh Imam As Suyuthi. (Asbabun Nuzul, Hal. 121), Imam Al ‘Iraqi. (Takhrij Ahadits Al Ihya’, 3/338), Imam Al Qurthubi. (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 8/210)
Syaikh Ali Hasyisy mengatakan dhaif jiddan. (Lihat Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 248, No. 158), Syaikh Al Albani juga mengatakan: dhaif jiddan. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 1607)
Hadits ini selain dhaif riwayatnya, tapi juga buruk secara makna, yakni telah menjadikan salah satu sahabat nabi yang mulia, bernama Tsa’labah bin Haathib seorang Ahli Badar dan golongan Anshar, sebagai sosok yang durhaka. Hal ini merupakan tuduhan yang berat kepadanya, dan dusta terhadapnya. Padahal Ahli Badar telah Allah Ta’ala maafkan dan diampuni dosa-dosanya, dan dijamin masuk surga, sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits shahih.
Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَنْ
يَدْخُلَ النَّارَ رَجُلٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَةَ
Tidak akan pernah masuk ke neraka seorang yang ikut
perang Badar dan Hudaibiyah. (HR. Ahmad No. 15297, Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 15297. Alauddin Al Muttaqi Al
Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 33894, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat
As Silsilah Ash Shahihah No. 2160)
Dahulu ada sahabat nabi, Hatib bin Abi Baltha’ah Radhiallahu ‘Anhu dan dia seorang Ahli Badar, yang telah membocorkan rahasia negara ketika menjelang penaklukan kota Mekkah (Fathul Makkah). Beliau mengirim utusan seorang wanita untuk membawa surat ke Mekkah kepada sanak familinya perihal penaklukan itu. Namun Rasulullah mengetahui rencana Hatib ini, Beliau mengutus Ali, Az Zubeir, dan Miqdad untuk mengejar utusan tersebut, dan akhirnya terkejar.
Para sahabat pun marah kepada Hatib bin Abi Baltha’ah, bahkan Umar mengatakan: “Ya Rasulullah, Da’ni adhribu ‘unuqa haadzal munaafiq – Ya Rasulullah, biarkan saya memenggal leher si munafiq ini.”
Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Dahulu ada sahabat nabi, Hatib bin Abi Baltha’ah Radhiallahu ‘Anhu dan dia seorang Ahli Badar, yang telah membocorkan rahasia negara ketika menjelang penaklukan kota Mekkah (Fathul Makkah). Beliau mengirim utusan seorang wanita untuk membawa surat ke Mekkah kepada sanak familinya perihal penaklukan itu. Namun Rasulullah mengetahui rencana Hatib ini, Beliau mengutus Ali, Az Zubeir, dan Miqdad untuk mengejar utusan tersebut, dan akhirnya terkejar.
Para sahabat pun marah kepada Hatib bin Abi Baltha’ah, bahkan Umar mengatakan: “Ya Rasulullah, Da’ni adhribu ‘unuqa haadzal munaafiq – Ya Rasulullah, biarkan saya memenggal leher si munafiq ini.”
Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّهُ
قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدْ اطَّلَعَ
عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ
غَفَرْتُ
Dia telah ikut perang Badar, apakah engkau tidak tahu
bahwa barang kali Allah Ta’ala telah memandang Ahli Badar, lalu Dia berkata:
lakukan apa yang kalian mau, kalian telah Aku ampuni. (HR. Bukhari No. 3007 dan
Muslim No. 2494)
Demikian mulia kedudukan Ahli Badar, dan Tsa’labah bin Haathib juga termasuk Ahli Badar.
Selain itu, kisah dalam riwayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menolak amal shalih dan maaf hambaNya. Ini juga bertentangan dengan sifat Allah Ta’ala sebagai Al Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Maha Penyayang).
Kemudian riwayat ini juga mengandung makna bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memaafkan Tsa’labah sampai dirinya wafat. Ini jelas bertentangan dengan akhlak Beliau yang asyidda’u ‘alal kuffar wa ruhama’u bainahum – keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang terhadap mereka (orang-orang mukmin/para sahabatnya).
Demikian mulia kedudukan Ahli Badar, dan Tsa’labah bin Haathib juga termasuk Ahli Badar.
Selain itu, kisah dalam riwayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menolak amal shalih dan maaf hambaNya. Ini juga bertentangan dengan sifat Allah Ta’ala sebagai Al Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Maha Penyayang).
Kemudian riwayat ini juga mengandung makna bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memaafkan Tsa’labah sampai dirinya wafat. Ini jelas bertentangan dengan akhlak Beliau yang asyidda’u ‘alal kuffar wa ruhama’u bainahum – keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang terhadap mereka (orang-orang mukmin/para sahabatnya).
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment