Apa
makna syahadat لا إله إلا الله?
a>
Tiada
Tuhan Selain Allah
b>
Tiada
Tuhan yang Berhak Disembah Selain Allah
Kebanyakan
muslim Indonesia akan menjawab a, padahal yang benar adalah b. Untuk memahami
kenapa makna ini bisa salah besar memerlukan dasar-dasar bahasa Arab. Sedangkan
kaum muslimin khususnya di Indonesia, hampir sebagian besar belum memiliki
dasar-dasar bahasa Arab yang cukup. Padahal ini adalah masalah yang paling
penting yaitu syahadat, tabir pemisah antara Islam dan kekafiran. Dan kesalahan
fatal ini sudah tersebar luas, di televisi [saat adzan], di papan jalan-jalan,
di buku-buku kurikulum pendidikan agama islam dari TK-perguruan tinggi.
Bukti Mengapa Memaknai Syahadat [لا إله إلا الله] Dengan “Tiada Tuhan Selain Allah” Adalah Salah Besar
Bukti
pertama
Ini
bagi mereka yang belum mempelajari bahasa Arab. Perlu diketahui, jika
mengartikan syahadat dengan “tiada tuhan selain Allah” yaitu khususnya makna
rububiyah bahwa,
“Tiada
tuhan yang pencipta alam semesta, memberi rezeki dan mengatur alam semesta
selain Allah”
Maka
Abu Lahab, Abu Jahal dan orang-orang kafir Quraisy juga mengakui hal tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha mendakwahi dan kemudian
memerangi mereka.
Allah
Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ
لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika
kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya
mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?” [QS. Az-Zukhruf: 87]
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah berkata,
أي: ولئن سألت المشركين عن توحيد الربوبية، ومن هو
الخالق، لأقروا أنه الله وحده لا شريك له.
“Yaitu, jika
engkau [Muhammad] bertanya kepada orang-orang musyrik tentang tauhid rububiyah
dan siapakah pencipta, maka sungguh mereka akan mengakui bahwasanya dialah
Allah semata dan tiada sekutu baginya.”
[Taisir Karimir Rahmah hal. 737, Dar Ibnu Hazm, Beirut, Cet. Ke-1,1424
H]
Silahkan
lihat juga surat Yunus ayat ke-31 dan Al-’Ankabut ayat ke-63.
Kemudian, mereka orang kafir Quraisy menyembah berhala-berhala
mereka, bukanlah bermaksud menyembah mereka sebagai tuhan yang
sesungguhnya, tetapi anggapan mereka bahwa:
1.
Berhala-berhala tersebut sebagai perantara menyampaikan doa mereka kepada Allah
dan bisa mendekatkan diri/taqarrub kepada Allah
Sebagian
berhala di antara berhala-berhala mereka dulunya adalah orang shalih, kemudian
dibuatlah patung/lambang orang-orang yang shalih tersebut. Contohnya adalah
Latta, yaitu orang shalih yang dahulunya menggiling tepung dan memberi makan
orang yang haji ke Mekkah. Awalnya patungnya dibuat untuk mengenangnya, tetapi
datang generasi seterusnya yang kurang ilmu akhirnya jadilah patung Latta
disembah sampai zaman Quraisy. Karena orang-orang kafir Quraisy membuat kias
yang salah. Jika kita ingin dekat dan bertemu dengan raja, maka orang yang papa
harus ada wasilah/channel berupa menteri atau orang yang dekat dengan raja.
Sedangkan Allah tidak butuh perantara dan Maha Mendengar doa.
Inilah
perkataan mereka,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى
اللَّهِ زُلْفَى
“Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya”.
[Az-Zumar: 3]
2. Berhala-berhala tersebut bisa
memberikan syafaat kepada mereka kelak.
Mereka
berharap orang-orang shalih, malaikat dan para Nabi yang dilambangkan dengan
patung berhala-berhala tersebut bisa memberikan syafaat kelak, karena mereka
adalah orang-orang yang dekat dengan Allah. Mereka orang-orang kafir Quraisy
berkata,
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ
يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ
“Dan
mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka
berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. [Yunus: 18]
Inilah
yang manjadi kaidah kedua dalam kitab tauhid Qowa’idul Arba’ syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab,
القاعدة الثانية: أنهم يقولون: ما دعوناهم وتوجهنا
إليهم إلا لطلب القربة والشفاعة.
“Kaidah
kedua: bahwasanya mereka [orang-orang kafir Quraisy] berkata, “tidaklah kami
berdoa dan menghadapkannya kepada mereka [berhala-berhala] melainkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan meminta syafaat.”
Maka
jika orang yang dilaknat di Al-Quran dan dibaca sampai kiamat yaitu Abu
Lahab, dia tahu makna syahadat la ilaha illallah, sehingga abu Lahab
menolak dan mengingkarinya.
Bukti kedua
Memahami makna huruf nafi’ [لا] “laa” yaitu [لا نافية للجنس] “laa
naafiah liljinsi”
Dalam bahasa Arab ada huruf nafi’ [لا نافية للجنس] “laa
naafiah liljinsi” yang dia bermaksud menafi’kan/ meniadakan semua anggota
cakupannya tanpa terkecuali.
Contoh:
لا حيوان في البيت
“tidak ada hewan dirumah”
Maka dengan “laa naafiah liljinsi”, maka semua jenis hewan
apapun tidak ada dirumah. Baik itu kecoa, tikus-tikus dan lain-lain.
Berbeda dengan ucapan orang Indonesia,
“Masuk saja ke dalam rumah, tidak ada hewan apapun dirumah,
tidak usah takut”
Maka ini ini menafi’kan/meniadakan yang biasa, tidak menafi’kan
semua jenis hewan, yaitu tidak ada sama sekali hewan didalam rumah, ia paham
bahwa dirumah ada juga hewan-hewan lain misalnya kecoa, tikus, semut dan
sebagainya. Tetapi ia maksudkan adalah hewan-hewan besar yang teranggap seperti
anjing atau kucing.
Begitu juga dengan perkataan orang Arab,
لا شارع مزدحما
“tidak ada jalan yang padat/ramai”
huruf [لا]
“laa” disini adalah “laa Naafiah” biasa bukan [لا نافية للجنس] “laa
naafiah liljinsi”, maka bukan maksudnya menafi’kan seluruh jalan tanpa
terkecuali tidak padat atau sepi, Tetapi ada juga jalan lain yang padat/ramai
Nah, begitu juga kita memahami kalimat syahadat [لا إله إلا الله]
bahwa huruf [لا]
“laa” disitu adalah [لا نافية للجنس] “laa
naafiah liljinsi”
Jika kita katakan,
“tidak ada tuhan selain Allah”
Ingat, kita pahami dengan makna peniadaan [لا نافية للجنس] “laa
naafiah liljinsi” yang artinya menafikan tidak ada sama sekali tuhan
kecuali Allah.
Padahal, Islam mengakui ada tuhan-tuhan batil lainnya yang
disembah selain Allah. Tuhan-tuhan batil tersebut disebutkan dalam Al-Quran:
-Matahari dan bulan [surat Fushshilat: 37]
-Malaikat [surat Ali Imran: 80]
-Para Nabi seperti nabi Isa [surat Al-Maidah: 116]
-Orang-orang shalih [surat Al-Isra’: 57]
-Batu dan pohon [surat An-Najm:19-20]
Maksud batil disini adalah mereka menjadikannya tidak sesuai dan
bukan pada tempatnya. Bukan para malaikat, Nabi dan orang shalih yang batil.
Bahkan diceritakan dalam Al-Quran bahwa mereka semua berlepas diri dari yang
menyembah mereka.
Maka konsekuensi dari fakta diatas:
1.
Tidak ada tuhan sama sekali kecuali Allah
2. Ada tuhan-tuhan batil lainnya
2. Ada tuhan-tuhan batil lainnya
Maka maknanya jadinya,
“semua tuhan-tuhan batil tersebut adalah Allah”
Karena tidak ada tuhan melainkan itu adalah Allah. misalnya ini
ada batu yang dianggap sebagai tuhan tetapi batil. Maka batu itu adalah Allah.
Tentu makna ini salah besar.
Jika masih kurang jelas, kita ambil contoh yang lain. Coba
pahami kalimat ini dengan penafian [لا نافية للجنس] “laa
naafiah liljinsi”,
“tidak ada sandal di masjid A kecuali baru”
Maka semua sandal dimasjid A tanpa terkecuali pasti
baru. Jika ada yang menemukan sandal di masjid A. Maka sandal tersebut pasti
baru.
Bukti ketiga
Ada khabar yang [محذوف] dibuang/tidak ditampakkan.
Dalam ilmu bahasa Arab menyatakan bahwa[لا نافية للجنس] “laa
naafiah liljinsi” membutuhkan Isimnya dan khabarnya, dan khabarnya
pasti di buang dan ini memang kaidah bahasa Arab dan diketahui oleh semua orang
yang paham kaidah bahasa Arab. Maka orang yang mengartikan syahadat dengan
“tiada tuhan selain Allah”, mengartikannya kata perkata yaitu,
-[لا
]=tiada
-[إله]=tuhan
-[إلا]=selain
-[الله]=Allah
Maka ada kata yang terlewat yang harus diartikan juga, yaitu
khabar yang dibuang. Apa khabar yang dibuang tersebut? Jawabannya adalah [حق atau بحق] “haqqun atau bihaqqin”.
Maka makna syahadat yang benar adalah,
لا معبود حق إلا االه
“tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah”
Kata [حق
atau بحق] “haqqun
atau bihaqqin” berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ
الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Yang
demikian itu dikarenakan Allah adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun
segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” [QS. Luqman: 30].
Begitu juga tafsir para ulama, Ibnu Katsir menafsirkan surat
Al-Qashash:70, At-Thabari menafsirkan surat Al-An’am:106, As-Suyuti menafsirkan
surat Al-Baqarah: 255. Dan banyak ulama yang lainnya.
Faidah bagi yang sudah belajar bahasa Arab
Mana yang lebih tepat khabar yang dibuang “haqqun” atau “bihaqqin”?
Jawab: “haqqun” lebih tepat karena jika menggunakan
“bihaqqin” dia adalah susunan “jar dan majrur”. Sedangkan “jar dan majrur”
umumnya membutuhkan fi’il/kata kerja atau yang beramalan (verb) seperti fi’il
sebagai “muallaqnya”/tempat bergantungnya.
Misalnya.
الرجل في البيت
Maka,pada في البيت
sebenarnya ada fi’il tempat bergantungnya/ “muallaq” yaitu استقر yang memang fi’il ini tidak ditampakkan.