Feb 24, 2014

MEMBICARAKAN QADHA DAN QADAR



إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِيْ فَأَمْسِكُوْا وَإِذَا ذُكِرَ النُّجُوْمُ
فَأَمْسِكُوْا وَإِذَا ذُكِرَ الْقَدَرَ فَأَمْسِكُوْا.
Jika para sahabatku dibicarakan maka diamlah, jika bintang-bintang dibicarakan maka diamlah dan jika taqdir dibicarakan maka diamlah.(1)
Pada saat yang lain, Abu Hurairah radhiallahu 'anh menerangkan bahwa: “Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pernah datang kepada kami sementara ketika itu kami sedang berselisih berkenaan taqdir. Maka baginda marah sehingga wajahnya menjadi merah dan kedua belah pipinya seumpama buah delima yang merekah. Baginda bersabda:
أَبِهَذَا أُمِرْتُمْ أَمْ بِهَذَا أُرْسِلْتُ إِلَيْكُمْ؟
 إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حِينَ تَنَازَعُوا فِي هَذَا الأَمْرِ.
عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تَتَنَازَعُوا فِيهِ.
Apakah untuk urusan seperti ini kalian diperintahkan? Atau apakah karena urusan seperti ini aku diutuskan kepada kalian? Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa tidak lain karena mereka berselisih dalam urusan ini (taqdir). Aku sungguh-sungguh meminta kalian agar jangan berselisih mengenainya.(2)
Walau bagaimanapun, kedua hadits di atas tidak bermaksud untuk melarang perbicaraan qadar dan qadha secara mutlak. Ini karena jika kita merujuk kepada keseluruhan al-Qur’an dan al-Sunnah, didapati terdapat sekian banyak ayat dan hadits yang membicarakan tentang qadar dan qadha.
Maka apa yang dimaksudkan oleh kedua-dua hadits di atas adalah larangan dari membicarakan qadar dan qadha tanpa merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta penjelasannya oleh para ilmuan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.
Selain itu, qadar dan qadha adalah berkenaan ilmu Allah, hikmah-Nya dan rahasia di balik penciptaan dan pengurusan-Nya. Justeru kita tidak boleh membicarakannya melainkan dengan merujuk kepada apa yang diterangkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih. Akal kita – sebijak apapun – tidak akan mampu menggapai ilmu Allah walau sedikit jua:
وَلَوْ أَنَّمَا فِي الأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلاَمٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ
سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
Dan sekiranya segala pohon yang ada di bumi menjadi pena dan segala lautan (menjadi tinta), dengan dibantu kepadanya tujuh lautan lagi sesudah itu, niscaya tidak akan habis kalimah-kalimah Allah itu ditulis. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. [Luqman 31:27]
Membicarakan ilmu Allah (qadar dan qadha) tanpa merujuk kepada petunjuk Allah (al-Qur’an dan al-Sunnah) bererti mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kita ketahui. Ini merupakan satu kesalahan yang lebih besar dari syirik berdasarkan turutan dalam ayat berikut:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ.
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku hanya mengharamkan:
  1. Perbuatan-perbuatan yang keji, secara terang-terangan atau tersembunyi dan perbuatan dosa;
  2. Dan melanggar hak manusia tanpa ada alasan yang benar;
  3. Dan (diharamkan-Nya) kamu mempersekutukan sesuatu dengan Allah sedang Allah tidak menurunkan hujjah/ bukti (yang membenarkannya);
  4. Dan (diharamkan-Nya) kamu mengatakan sesuatu terhadap Allah yang kamu tidak mengetahuinya. [al-A’raaf 7:33]
Ini penting untuk ditekankan karena sebagian umat Islam sejak masa lalu hingga kini berbicara berkenaan qadar dan qadha berdasarkan teori-teori akalnya. Mereka menerima apa yang sesuai, mentakwil apa yang berlainan dan menolak apa yang janggal. Mereka tidak sadar bahwa tindakan itu sebenarnya melanggar wilayah ilmu, hikmah dan rahasia Allah.
Juga, disebabkan teori ini saling bersilang dan bertindih, mereka akhirnya berselisih pendapat. Inilah yang dilarang oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadits di atas. Allah Subhanahu waTa'ala juga telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [al-Nisa’ 4:59]
Kita tidak membolehkannya secara mutlak dan tidak melarangnya secara mutlak. Kita membicarakannya sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah, diam pada apa yang didiamkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah dan menangguhkan apa yang tidak kita fahami.
Para ilmuan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah berbeda pendapat dalam menerangkan maksud qadar dan qadha. Ini karena kedua-dua perkataan memiliki maksud yang amat hampir dan saling menjelaskan. Di antara mereka ada yang berpendapat qadha berarti ketentuan bersifat menyeluruh sejak azali sementara qadar ialah bagian serta perinciannya. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah:
وقالوا أي العلماء القضاء هو الحكم الكلي الاجمالي في الازل والقدر جزئيات ذلك الحكم وتفاصيله.
Para ilmuan berkata, qadha ialah ketentuan bersifat menyeluruh lagi umum sejak masa azali manakala qadar ialah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut.
Selain itu di antara mereka ada yang berpendapat qadar ialah ilmu, penulisan, kehendak dan penciptaan Allah Subhanahu waTa’ala tentang apa yang akan berlaku sejak azali manakala qadha ialah perlaksanaan terhadap qadar tersebut.
Firman Allah berkenaan qadar:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ.
Sesungguhnya Kami menciptakan tiap-tiap sesuatu menurut qadar (yang telah ditentukan). [al-Qamar 54:49]
Firman Allah berkenaan qadha:
وَكَانَ أَمْرًا مَقْضِيًّا.
Dan hal itu adalah satu perkara yang telah ditetapkan berlakunya. [Maryam 19:21]
Berkenaan qadar, Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd – semoga Allah memeliharanya – menerangkan bahwa: Qadar adalah…ilmu Allah, catatan-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu tersebut. Berkenaan qadha, Syaikh Ahmad Izzuddin al-Bayanuni – semoga Allah memeliharanya – menerangkan bahwa: Qadha ialah perlaksanaan terhadap qadar yang telah ditentukan oleh Allah

No comments:

Post a Comment