Pada abad ke-21 ini trend 'glow-in-the-dark'
menyebar di banyak segment. Mulai dari bintang-bintang plastik di langit-langit kamar yang bersinar di malam hari untuk meniru rasi bintang dan menyisipkan gen ke dalam
zebrafish untuk
membuat mereka berkilau di dalam aquarium. Dari cat kuku dan tongkat berpendar bahkan sekarang anak anjing, kita sangat
tertarik dengan kemampuan untuk memanipulasi obyek yang tadinya tak terlihat dalam gelap. Namun jauh sebelum kita menciptakan benda glow-in-the-dark, beberapa jamur berevolusi untuk menggunakan karakteristik yang kita inginkan ini.
Fenomena alami ini disebut bioluminescence
dan terbatas pada sekelompok kecil spesies. Sementara kebanyakan jamur tidak memiliki kemampuan ini, diketahui sekitar 71 species
jamur bercahaya yang
terkandung dalam tiga kelompok—the Omphalotus, Armillaria, dan garis keturunan Mycenoid. Derajat intensitas cahaya mereka berbeda, sedangkan banyak spesies Australia sangat bercahaya, spesies Amerika Utara cenderung memancarkan
sedikit cahaya dan
membutuhkan penyesuaian gelap sebelum
mereka dapat dilihat. Laporan jamur–jamur ini pada Pliny Elder dalam abad pertama, yang
menggambarkan luminescent jamur putih—pembusukan
kayu di Perancis. Bahkan sebelumnya, Aristoteles telah
mengomentari kayu busuk bercahaya, sekarang dikenal sebagai produk dari luminescent miselium, subjek yang terus menjadi salah satu misteri besar di seluruh sejarah Eropa. Pada tahun 1555, Magnus Olaus (Swedia) menerbitkan Compendious History of the Goths, Swedes, and Vandals and
Other Northern Nations, yang menyebutkan banyak jamur luminescent seperti "Agarick"
dan hubungannya dengan pembusukan
kayu, ia juga menggambarkan penggunaan praktis dari miselium (sering disebut "Foxfire" atau "Faerie fire") oleh orang Skandinavia selama malam musim
dingin yang panjang. Penggunaan praktis jamur ini diperluas ke
area lain. Pada akhir abad
ke-17 di Herbarium
Amboiense, dokter Belanda GE Rumph berkomentar
tentang bagaimana penduduk pribumi Indonesia menggunakan
jamur bioluminesen sebagai senter.
Dan bahkan pada abad ke-20 Mikronesia, jamur ini khusus dimasukkan ke dalam ritual perang untuk tutup kepala dan cat wajah.
Berbagai organisme lain juga bioluminesce. Yang paling terkenal kunang-kunang, yang memancarkan
kilatan cahaya yang dihasilkan oleh
pigmen oxyluciferin. Sejumlah penelitian
telah mengungkapkan tindakan kelap kelip mereka sebagai bentuk komunikasi antara
individu dan sangat penting dalam
pemilihan pasangan. Larva kunang-kunang yang bercahaya-mungkin
dalam rangka untuk mencegah pemangsa.
kunang-kunang femme fatale Photurus menggunakan
cahayanya untuk menarik dan mengkonsumsi kunang-kunang jantan dari lainnya species. Serangga fluorescent lain adalah nyamuk jamur (yang
kemampuannya cahaya tidak berhubungan
dengan jamur di mana mereka
tinggal). Lalat ini menggunakan bioluminesce
terutama untuk menarik mangsa ke jaring mereka,
meskipun penggunaan lainnya meliputi menghalangi predator, menampilkan kekuatan larva
ke larva tetangga
yang agresif, dan menemukan pasangan.
Sejumlah hewan laut bersimbiosis dengan bakteri
berfluorescent untuk mencari mangsa. Ikan senter laut dalam dan anglerfish perempuan menggunakan cahaya ini untuk menarik mangsa di kegelapan laut dalam. hiu Cookiecutter menggunakan
luminescent mereka dengan cara yang
berlawanan, pancaran biru-hijauberkamuflase dengan laut sekitarnya sehingga terlihat kecil. Ikan predator lain, seperti tuna, melihat
hiu menjadi jauh
lebih kecil daripada yang sebenarnya, dan ketika ikan-ikan lain mendekati 'mangsa'
mereka, hiu ini menyerang (dan kemudian mengkonsumsi) predatornya.
Sebagai
perbandingan, bioluminescence dalam jamur sering diasumsikan berperan
dalam penyebaran spora dan meningkatkan kelangsungan hidup. Tidak seperti
beberapa spesies laut , fluoresensi dalam jamur diproduksi tanpa endosimbiosis.
Salah satu efek dasar cahaya jamur, seperti yang ditunjukkan oleh Sivinskif,
adalah kemampuannya yang lebih berhasil memikat arthropoda, khususnya
Collembola dan Diptera. Serangga ini dapat membantu dalam penyebaran
spora, sebanyak yang bau stinkhorns lakukan. Pada malam hari
serangga akan terpikat pada
bioluminescent jamur dan itu memberikan keuntungan setengah hari dibandingkan
dengan yang tidakberpendar, asumsinya serangga akan makan atau membawa spora
dan menjatuhkannya ditempat lain. Selain itu mungkin untuk meningkatkankan toksisitas mereka pada malam hari. Pendaran mungkin juga untuk menarik karnivora untuk
memakan serangga yang ada di jamur. Dengan asumsi bahawa jika lebih banyak
karivora yang tertarik daripada serangga sehingga predator jamur bisa menurun.
Tapi tidak semua hipotesis berpusat pada
hubungan jamur dengan lainnya organisme. Semua jamur berpendar dikenal adalah pembusuk
kayu yang dapat mencerna lignin, sebuah molekul sangat besar danrumit
yang membantu mengikat serat selulosa kayu bersama-sama. Ide
lainnya adalah bahwa bioluminescence
adalah produk samping degradasi lignin: Reaksi yang menyebabkan produksi cahaya
dapat menghasilkan antioksidan untuk melindungi jamur dari racun peroksida yang
dilepaskan selama proses pencernaan lignin.
Ketika pergi ke hutan
di malam hari tanpa senter—jika memperhatikan lebih dekat, mungkin bisa
menemukan jamur berluminescen.