Pada
saat bersama kumpulan ramai, jibril menerangkan :
“Mereka ialah umatmu dan mereka didahului oleh tujuh
puluh ribu orang yang (akan masuk syurga) tanpa dihisab maupun diazab.”
Rasulullah bertanya: “Mengapa (mereka mendapat keistimewaan itu)?” Jibril
menjawab: “Mereka (ketika di dunia dahulu) tidak berobat dengan besi panas,
tidak minta dijampi, tidak mempercayai nasib baik atau buruk dan ke atas tuhan
merekalah, mereka bertawakkal.” (1)
Hadits ini tidak bermaksud menerangkan ciri-ciri orang
yang bertawakkal, tetapi bermaksud menerangkan empat kategori orang yang bakal
memasuki syurga pada Hari Akhirat kelak tanpa hisab maupun azab. Mereka ialah:
Pertama: Mereka yang tidak berobat
dengan besi panas. Ini bukan berarti tidak berobat dengan besi panas karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri berobat dengan besi panas dan
ia merupakan cara perobatan yang umum pada zaman itu. Hanya Rasulullah tidak
menyukainya dan merupakan pilihan terakhir dengan syarat tidak memudaratkan. (2)
Akan
tetapi arti sebenarnya ialah dalam rangka berobat apakah dengan besi panas atau
selainnya, seseorang itu tidak menjadikan obat sebagai penyebab kesembuhan
sebaliknya menjadikan Allah sebagai penyebabnya. Obat ialah sebab sementara
kesembuhan bukanlah musabab. Sebab ialah usaha manusia sementara musabab ialah
kehendak Allah Subhanahu waTa’ala. Ini sebagaimana perkataan Nabi Ibrahim
‘alaihissalam di dalam al-Qur’an:
وَإِذَا مَرِضْتُ
فَهُوَ يَشْفِينِ.
Dan
apabila aku sakit, maka Dialah yang menyembuhkan penyakitku. [al-Syu’ara 26:80]
Perkara ini amat perlu
diperhatikan karena kebanyakan umat Islam pada masa kini mengharap dan menyandarkan
penyembuhan kepada obat-obatan, dokter dan pengobatan alternative.
Kedua: Mereka yang tidak
meminta dijampi. Ini tidak bermaksud jampi-jampian itu dilarang karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menjampi dan dijampi. Akan
tetapi yang dimaksudkan ialah meminta jampi-jampian yang tidak diajar oleh
Rasulullah.
Ini karena
jampi-jampian secara umum memiliki kesalahan di dalamnya. Jika jampi-jampian
itu berasal dari al-Qur’an, maka ia cenderung kepada penyalahgunaan ayat, jauh
dari arti dan tafsiran yang sebenar.
Jika jampi-jampian itu berasal dari selain al-Qur’an, maka ia cenderung
memiliki unsur syirik, khurafat atau pemujaan kepada jin. Justeru yang terbaik
lagi selamat ialah jampi-jampian yang diajar oleh Rasulullah. Ia terdiri dari
ayat-ayat al-Qur’an, zikir dan doa yang rasulullah amalkan dan ajarkan.
Ketiga: Mereka yang tidak
mempercayai nasib baik atau buruk. Ini merujuk kepada kepercayaan khurafat dan
syirik yang ada pada zaman Rasulullah hingga ke masa kini. Ada orang yang
mempercayai benda-benda atau perbuatan tertentu bisa membawa tuah atau nasib
yang baik (good luck) sementara benda-benda atau perbuatan lain bisa
mengakibatkan sial atau nasib yang buruk (bad luck).
Baik atau buruk, selamat atau mudarat, semuanya
ditentukan oleh qadar dan qadha Allah Subhanahu waTa’ala. Justru siapa yang
memiliki keyakinan yang bersih dari sembarang kepercayaan nasib baik dan buruk,
dia akan dapat memasuki syurga – dengan kehendak Allah – tanpa hisab dan azab.
Keempat: Mereka yang
bertawakkal kepada Allah Subhanahu waTa’ala. Ini sebagaimana yang telah
diterangkan dalam soalan: “Di manakah peranan tawakkal dalam sebab-musabab dan
apa kaitan tawakkal dengan taqdir?”
Kesudahannya, hadits di atas tidak mengetepikan usaha.
Ia sebenarnya menerangkan keutamaan orang yang mengusahakan sebab lalu
menyandarkan musabab kepada Allah, memastikan sebab-sebab yang diusahakan
adalah benar lagi selamat dari sudut syari’at Islam dan ilmu pengetahuan,
menjauhi keyakinan khurafat dan syirik serta bertawakkal kepada Allah. Tidak
banyak orang yang dalam kehidupan sehari-hariannya dapat menghimpun empat sifat
yang mulia ini. Atas dasar inilah mereka yang berhasil menghimpunkannya berada
di hadapan seluruh umat Islam pada Hari Akhirat nanti dan – dengan kehendak
Allah – dapat memasuki syurga tanpa hisab dan azab.
****
(1)Sahih: Dikeluarkan oleh
al-Bukhari dalam Shahihnya, hadits no: 6059 (Kitab al-Riqaq, Bab
tujuh puluh ribu orang yang masuk syurga tanpa hisab).
[2]
Ringkasan dari penjelasan Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam Zad
al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad (edisi terjemahan dan terbitan Griya Ilmu
atas judul Zadul Ma’ad: Bekal Perjalanan Ke Akhirat; Griya Ilmu,
Jakarta, 2010), jld. 5, ms. 71-73.