Konflik sosial sesungguhnya
merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai
kepentingan yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dengan
demikian, terjadilah persaingan hingga menimbulkan suatu benturan-benturan
fisik baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Berikut ini beberapa
pendapat ahli tentang pengertian konflik :
1. Berstein, menyebutkan bahwa konflik merupakan suatu pertentangan atau perbedaan yang belum pernah dicegah, konflik mempunnyai potensi yang memberikan pengaruh positif dan ada pula yang negative didalam interaksi manusia.
2. Robert M. Z Lawang mengemukakan bahwa konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, dan kekuasan dimana tujuan dari mereka yang berkonflik tidak hany memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
3. Soerjono Soekanto, konflik merupakan proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.
Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan
nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan.
Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda
akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan
orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik
timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang
individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara.
Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.
Dipandang dari akibat maupun cara penyelesaiannya, Furman & McQuaid (dalam Farida, 1996) membedakan konflik dalam dua tipe yang berbeda, yaitu konflik destruktif dan konstruktif.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.
Dipandang dari akibat maupun cara penyelesaiannya, Furman & McQuaid (dalam Farida, 1996) membedakan konflik dalam dua tipe yang berbeda, yaitu konflik destruktif dan konstruktif.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Konflik tidak akan terjadi apabila masyarakat dapat dikendalikan dengan baik, sehingga kerugian akibat dari konflik dapat ditekan sedemikian rupa. Ada tiga macam bentuk pengendalian konflik sosial, yaitu:
a. Konsiliasi
Merupakan bentuk pengendalian konflik sosial yang utama. Pengendalian ini terwujud melalui lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan. Pada umumnya, bentuk konsiliasi terjadi pada masyarakat politik. Lembaga parlementer yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok kepentingan akan menimbulkan pertentangan-pertentangan. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, biasanya lembaga ini melakukan pertemuan untuk jalan damai.
Untuk dapat berfungi dengan baik dalam melakukan konsiliasi, maka ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu:
1) Lembaga tersebut merupakan lembaga yang bersifat otonom.
2) Kebudayaan lembaga tersebut harus bersifat monopolitis.
3) Peran lembaga tersebut harus mengikat kepentingan semua kelompok.
4) Peran lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
b. Mediasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara membuat konsensus di antara dua pihak yang bertikai untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Pengendalian ini sangat berjalan efektif dan mampu menjadi pengendalian konflik yang selalu digunakan oleh masyarakat. Misalnya pada konflik berbau sara di Poso, dimana pemerintah menjadi mediator menyelesaikan konflik tersebut tanpa memihak satu sama lainnya.
c. Arbitrasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa hadirnya pihak ketiga yang memberikan keputusan untuk menyelesaikan konflik. Ketiga jenis pengendalian konflik ini memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya ledakan sosial dalam masyarakat.
Akan membantu memahami suatu konflik dengan menilai sifat dari masalah pada suatu situasi tertentu. Konflik biasanya muncul berasal dari satu atau beberapa sumber berikut ini.
1 . Konflik menyangkut informasi
Pada banyak kejadian, pihak-pihak yang berkonflik tidak memiliki informasi yang cukup, atau bahkan tidak meiliki informasi yang sama tentang suatu situasi. Mengumpulkan dan mengklarifikasikan fakta-fakta yang diperlukan dapat menolong meredakan ketegangan yang terjadi.dalam situasi berbeda,pihak-pihak yang bertikai menafsirkan informasi dengan cara yang berlainan atau memberikan bobot kepentigan yang berbeda terhadap informasi yang sama. Diskusi yang terbuka dan masukan dari pihak yang dapat dipercaya akan membantu dalam menilai relevansi dari informasi yang tersedia.
2. Konflik menyangkut Sumberdaya
Konflik menyangkut berbagai sumberdaya seperti tanah, uang atau benda lain biasanya mudah diidentifikasikan dan sering diselesaikan lewat jalan tawar-menawar / negosiasi. Namun, kadang-kadang walaupun dipermukaan pihak-pihak yang berkonflik seolah saling mempertikaikan sumberdaya tertentu, tetapi sesungguhnya konflik itu menyangkut suatu perkara lain, mungkin tentang relasi atau kebutuhan psikologis salah satu atau kedua belah pihak.
3. Konflik tentang Relasi
Dalam hubungan keluarga, kemitraan bisnis atau organisasi kemasyarakatan, orang sering berselisih pendapat tentang berbagai perkara, tetapi kadang-kadang saling ketergantungan yang tercipta oleh relasi mereka itu melahirkan dimensi destruktif pada aneka perbedaan yang terjadi yang semestinya mudah diselesaikan. Berbagai kejadian dimasa lampau atau kesan dan prasangka yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun dapat membuat orang menjadi sangat kaku atau tidak mau mencoba menempuh solusi yang sangat jelas yang berkaitan dengan tujuan, peranan, tangung jawab, dan perbedaan pandangan yang ada.
4. Konflik menyangkut Kepentingan atau Kebutuhan
Aneka kebutuhan manusiawi yang penting dan kuat seperti kebutuhan akan jati diri, harga diri, atau partisipasi seringkali menjadi inti konflik yang di permukaan terkesan seperti persaingan menyangkut benda-benda materi belaka. Kesempatan yang konstruktif bagi individu atau kelompok masyarakat untuk mengungkapkan aneka kebutuhan mereka dan merasakan bahwa diri mereka telah didengarkan seringkali amat menentukan dalam mengatasi jenis-jenis kebutuhan ini. Pemecahan jangka panjang terhadap suatu konflik yang berkisar pada sumberdaya seringkali ditentukan baik oleh penguasa aneka kepentingan atau kebutuhan orang-oarang yang terlibat maupun oleh pembagian berbagai sumberdaya tersebut secara adil.
5. Konflik Menyangkut Struktur
Struktur kemasyarakatan dan organisasi menentukan siapa yang memiliki akses pada kekuasaan atau sumberdaya, siapa yang wajib memberi hormat kepada siapa, dan siapa yang memiliki wewenang untuk membuat berbagai keputusan. Konflik menyangkut atau di dalam struktur seringkali melibatkan persoalan tentang keadilan dan tujuan-tujuan yang saling tidak sejalan. Konflik-konflik semacam itu seringkali menuntut usaha bertahun-tahun untuk menghasilkan perubahan yang konstruktif.
6. Konflik Menyangkut Nilai-Nilai Hidup
Berbagai nilai hidup dan keyakinan dibentuk oleh pengalaman hidup dan iman kepercayaan. Karena ancaman terhadap nilai hidup seseorang seringkali dipandang sebagai ancaman terhadap jati dirinya, maka konflik-konflik menyangkut nilai-nilai hidup biasanya paling sulit dipecahkan. Kebanyakan orang bereaksi secara defensif terhadap ancaman semacam ini dan menolak untuk bernegosiasi, mengira bahwa pemecahan konflik tersebut menuntut mereka untuk mengubah nilai-nilai hidup. Dalam kenyataan, dengan memberi kesempatan kepada orang yang bertikai untuk menjernihkan nilai-nilai hidup mereka dan merasa bahwa mereka telah didengarkan serta dipahami seringkali langkah itu dapat membuat mereka meniggalkan sikap defensif dan belajar hidup bersama dengan saling menerima berbagai perbedaan yang ada di antara mereka.
Konflik memilki konsekuensi-konsekuensi baik positif maupun negatif, dan yang menjadi tujuan manajemen konflik adalah memenej sedemikian rupa sehingga keuntungan-keuntungannya dapat dipertahankan serta akibat-akibat sebaliknya dapat diminimalisir. Akibat-akibat negatif dari konflik terutama terletak ada kehancuran komunikasi, keterjalinan serta kerjasama. Bila terjadi konflik yang berlebihan, organisasi dapat pecah sebagian dan tidak dapat digerakkan, tidak dapat melakukan tindakan-tindakan bersama dalam menghadapi tantangan lingkungan. Di pihak lain, tanpa sedikit konflik, organisasi tidak mungkin akan mempertahankan ketegarannya serta menyesuaikan dengan berhasil terhadap lingkungan yang sedang berubah. Penyesuaian memerlukan perubahan-perubahan dalam prosedur-prosedur dan prioritas-prioritas bahkan mungkin terhadap tujuan-tujuan organisasi.
Konflik terjadi disebabkan oleh berbagai jenis kondisi
pendahulu. Enam kategori penting dari kondisi-kondisi pemula (antecedent
conditions) meliputi:
1. Persaingan Terhadap Sumber-Sumber (Competition for Resources)
Salah satu sumber konflik penting dalam organisasi adalah persaingan terhadap sumber-sumber seperti dana anggaran, ruang, pengadaan bahan, personalia, serta pelayanan pendukung. Semakin langka pengadaan sumber-sumber yang relatif banyak diperlukan oleh pihak-pihak tandingannya, dan semakin penting sumber-sumber tersebut bagi mereka, semakin besar kemungkinan konflik akan berkembang serta semakin tajam.
2. Ketergantungan Tugas (Task Independence)
Jika dua individu atau kelompok tergantung satu sama lain dalam cara sedemikian rupa untuk keberhasilan pelaksanaan tugasnya, maka konflik mungkin terjadi jika keduanya mempunyai tujuan-tujuan atau prioritas-prioritas yang berbeda. Ketergantungan pekerjaan dapat satu arah atau dua arah, dan ketergantungan dapt mencakup pembagian, persediaan, informasi, bantuan, atau pengarahan, disamping tuntutan mengkoordinasi aktivitas-aktivitas dua pihak. Semakin besar perbedaan dalam orientasi tujuan untuk pihak/kelompoknya, semakin besar kemungkinan konflik akan berkembang.
3. Kekaburan Batas-Batas Bidang Kerja (Jurisdictional Ambiquity)
Konflik mungkin sekali terjadi bilamana batasan-batasan bidang kerja tidak jelas yang dikarenakan adanya tumpang suh (overlapping) tanggung jawab atau ketimpangan dalam tanggung jawab dan satu pihak berusaha untuk melakukan lebih banyak pengendalian atas perilaku-perilaku yang disukainya atau mengalihkan/menyerahkan bagiannya dalam pelaksanaan-pelaksanaan aktivitas-aktivitas yang tidak disukainya. Konflik juga berkembang jika satu pihak berusaha mencari muka atas setiap keberhasilan atau mengalihkan celaan bila terjadi kegagalan dalam suatu aktivitas bersama.
4. Maslah Status (Status Problem)
Konflik mungkin terjadi bila satu departemen berusaha meningkatkan statusnya, dan departemen-departeman lain memandang hal tersebut sebagai suatu ancaman dalam posisinya dalam hirarki status. Dalam penelitian terhadap konflik staf-lini, Dalton (1950) mengamati bahwa personalia staf berusaha membuktikan kemampuannya dengan mengembangkan teknik-teknik produksi baru tersebut karena mereka menganggap wewenangnya atas produksi sebagai hak mutlaknya, dan mereka sangat tersinggung bahwa mereka memerlukan bantuan dari orang-orang muda ingusan, personalia staf yang kurang berpengalaman. Gabungan masalah-masalah status dan bidang kerja menciptakan benturan-benturan yang serius dan cadangan teknik-teknik baru potensial sejumlah atasan tidak pernah dapat diterapkan.
5. Rintangan-Rintangan Komunikasi (Communication Barriers)
Tidak memadainya komunikasi dapat mendukung berkembangnya konflik semua (psudo-conflik) yang merintangi persetujuan antara dua kelompok yang posisinya saling melengkapi. Tidak adanya sarana-sarana komunikasi yang memadai dapat menghambat usaha-usaha untuk mencapai koordinasi dua kelompok yang tugas pekerjaannya bergantungan. Kesulitan-kesulitan bahasa serta selektivitas dalam menginterpretasikan informasi dapat mengekalkan kesalahan konsepsi dan mendorong timbulnya saling tidak percaya.
6. Sifat-Sifat Individu (Individual Traits)
Kemungkinan terjadi konflik sebagian ditentukan sifat kepribadian masing-masing pihak. Dalam suatu tinjauan riset tawar-menawar (bargaining), Walton dan Mc Kersie (1965) menyimpulkan bahwa perilaku konflik mudah terjadi bila satu pihak/kelompok sangat dogmatis dan otoriter serta rendah harga dirinya.
1. Persaingan Terhadap Sumber-Sumber (Competition for Resources)
Salah satu sumber konflik penting dalam organisasi adalah persaingan terhadap sumber-sumber seperti dana anggaran, ruang, pengadaan bahan, personalia, serta pelayanan pendukung. Semakin langka pengadaan sumber-sumber yang relatif banyak diperlukan oleh pihak-pihak tandingannya, dan semakin penting sumber-sumber tersebut bagi mereka, semakin besar kemungkinan konflik akan berkembang serta semakin tajam.
2. Ketergantungan Tugas (Task Independence)
Jika dua individu atau kelompok tergantung satu sama lain dalam cara sedemikian rupa untuk keberhasilan pelaksanaan tugasnya, maka konflik mungkin terjadi jika keduanya mempunyai tujuan-tujuan atau prioritas-prioritas yang berbeda. Ketergantungan pekerjaan dapat satu arah atau dua arah, dan ketergantungan dapt mencakup pembagian, persediaan, informasi, bantuan, atau pengarahan, disamping tuntutan mengkoordinasi aktivitas-aktivitas dua pihak. Semakin besar perbedaan dalam orientasi tujuan untuk pihak/kelompoknya, semakin besar kemungkinan konflik akan berkembang.
3. Kekaburan Batas-Batas Bidang Kerja (Jurisdictional Ambiquity)
Konflik mungkin sekali terjadi bilamana batasan-batasan bidang kerja tidak jelas yang dikarenakan adanya tumpang suh (overlapping) tanggung jawab atau ketimpangan dalam tanggung jawab dan satu pihak berusaha untuk melakukan lebih banyak pengendalian atas perilaku-perilaku yang disukainya atau mengalihkan/menyerahkan bagiannya dalam pelaksanaan-pelaksanaan aktivitas-aktivitas yang tidak disukainya. Konflik juga berkembang jika satu pihak berusaha mencari muka atas setiap keberhasilan atau mengalihkan celaan bila terjadi kegagalan dalam suatu aktivitas bersama.
4. Maslah Status (Status Problem)
Konflik mungkin terjadi bila satu departemen berusaha meningkatkan statusnya, dan departemen-departeman lain memandang hal tersebut sebagai suatu ancaman dalam posisinya dalam hirarki status. Dalam penelitian terhadap konflik staf-lini, Dalton (1950) mengamati bahwa personalia staf berusaha membuktikan kemampuannya dengan mengembangkan teknik-teknik produksi baru tersebut karena mereka menganggap wewenangnya atas produksi sebagai hak mutlaknya, dan mereka sangat tersinggung bahwa mereka memerlukan bantuan dari orang-orang muda ingusan, personalia staf yang kurang berpengalaman. Gabungan masalah-masalah status dan bidang kerja menciptakan benturan-benturan yang serius dan cadangan teknik-teknik baru potensial sejumlah atasan tidak pernah dapat diterapkan.
5. Rintangan-Rintangan Komunikasi (Communication Barriers)
Tidak memadainya komunikasi dapat mendukung berkembangnya konflik semua (psudo-conflik) yang merintangi persetujuan antara dua kelompok yang posisinya saling melengkapi. Tidak adanya sarana-sarana komunikasi yang memadai dapat menghambat usaha-usaha untuk mencapai koordinasi dua kelompok yang tugas pekerjaannya bergantungan. Kesulitan-kesulitan bahasa serta selektivitas dalam menginterpretasikan informasi dapat mengekalkan kesalahan konsepsi dan mendorong timbulnya saling tidak percaya.
6. Sifat-Sifat Individu (Individual Traits)
Kemungkinan terjadi konflik sebagian ditentukan sifat kepribadian masing-masing pihak. Dalam suatu tinjauan riset tawar-menawar (bargaining), Walton dan Mc Kersie (1965) menyimpulkan bahwa perilaku konflik mudah terjadi bila satu pihak/kelompok sangat dogmatis dan otoriter serta rendah harga dirinya.
No comments:
Post a Comment