Para Ulama Yang Membolehkan Membaca Al Qur’an dan
Alasannya
Menurut ulama lain, sama sekali tidak ada larangan yang
qath’i (pasti) dalam Al Quran dan As Sunnah bagi orang yang berhadats besar
untuk membaca Al Quran. Ada pun dalil-dalil yang dikemukakan di atas bukanlah
larangan membaca Al Quran, tetapi larangan menyentuh Al Quran. Tentunya,
membaca dan menyentuh adalah dua aktifitas yang berbeda. Inilah pendapat yang
lebih kuat, dan memang begitulah adanya, menurut mereka bahwa nash-nash yang
dibawakan oleh kelompok yang melarang tidaklah relevan.
Wallahu A’lam
Tetapi, ada yang merinci: wanita HAID dan NIFAS adalah
BOLEH, sedangkan JUNUB adalah TIDAK BOLEH.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah mengatakan –dan
ini adalah jawaban beliau yang memuaskan dan sangat bagus:
لا
حرج أن تقرأ الحائض والنفساء الأدعية المكتوبة في مناسك الحج ولا بأس أن تقرأ
القرآن على الصحيح أيضاً لأنه لم يرد نص صحيح صريح يمنع الحائض والنفساء من قراءة
القرآن إنما ورد في الجنب خاصة بأن لا يقرأ القرآن وهو جنب لحديث على رضي الله عنه
وأرضاه أما الحائض والنفساء فورد فيهما حديث ابن عمر { لا تقرأ الحائض ولا الجنب
شيئاً من القرآن } ولكنه ضعيف لأن الحديث من رواية اسماعيل بن عياش عن الحجازيين
وهو ضعيف في روايته عنهم ، ولكنها تقرأ بدون مس المصحف عن ظهر قلب أما الجنب فلا
يجوز له أن يقرأ القرآن لا عن ظهر قلب ولا من المصحف حتى يغتسل والفرق بينهما أن
الجنب وقته يسير وفي إمكانه أن يغتسل في الحال من حين يفرغ من اتيانه أهله فمدته
لا تطول والأمر في يده متى شاء اغتسل وإن عجز عن الماء تيمم وصلى وقرأ أما الحائض
والنفساء فليس بيدهما وإنما هو بيد الله عز وجل ، فمتى طهرت من حيضها أو نفاسها
اغتسلت ، والحيض يحتاج إلى أيام والنفاس كذلك ، ولهذا أبيح لهما قراءة القرآن لئلا
تنسيانه ولئلا يفوتهما فضل القرأءة وتعلم الأحكام الشرعية من كتاب الله فمن باب
أولى أن تقرأ الكتب التي فيها الأدعية المخلوطة من الأحاديث والآيات إلى غير ذلك
هذا هو الصواب وهو أصح قولى العلماء رحمهم الله في ذلك .
“Tidak mengapa bagi wanita haid dan nifas membaca doa-doa
manasik haji, begitu pula dibolehkan membaca Al Quran menurut pendapat yang
benar. Lantaran tidak adanya nash yang shahih dan jelas yang melarang wanita
haid dan nifas membaca Al Quran, yang ada hanyalah larangan secara khusus bagi
orang yang junub sebagaimana hadits dari Ali – semoga Allah meridhainya dan dia
un ridha padaNya. Sedangkan untuk haid dan nifas, terdapat hadits dari Ibnu
Umar: “Janganlah wanita haid dan orang junub membaca apa pun dari Al Quran,”
tetapi hadits ini dhaif (lemah), lantaran hadits yang diriwayatkan oleh Ismail
bin ‘Iyash dari penduduk Hijaz adalah tergolong hadits dhaif. Tetapi membacanya
dengan tidak menyentuh mushaf bagian isinya. Ada pun orang junub, tidaklah
boleh membaca Al Quran, baik dari isinya atau dari mushaf, sampai dia mandi.
Perbedaan antara keduanya adalah, karena sesungguhnya junub itu waktunya
sedikit, dia mampu untuk mandi sejak selesai berhubungan dengan isterinya dan
waktunya tidaklah lama, dan urusan ini ada di bawah kendalinya kapan pun dia
mau mandi. Jika dia lemah kena air dia bisa tayamum, lalu shalat dan membaca Al
Quran. Sedangkan haid dan nifas, dia tidak bisa mengendalikan waktunya karena
keduanya adalah kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla, ketika sudah suci dari haid dan
nifasnya maka dia baru mandi. Haid membutuhkan waktu berhari-hari begitu pula
nifas, oleh karena itu dibolehkan bagi keduanya untuk membaca Al Quran agar dia
tidak lupa terhadapnya, dan tidak luput darinya keutamaan membacanya, dan
mengkaji hukum-hukum syariat dari kitabullah. Maka, diantara permasalahan yang
lebih utama dia baca adalah buku-buku yang didalamnya terdapat doa-doa dari
hadits dan ayat-ayat, dan selainnya. Inilah pendapat yang benar di antara dua
pendapat ulama –rahimahumullah- tentang hal ini. (Fatawa Islamiyah, 4/27.
Disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)
Ini juga menjadi pendapat Imam Al Qadhi ‘Iyadh. (Ikmal
Mu’alim Syarh Shahih Muslim, No. 373. Al Maktabah Al Misykah)
Bahkan ada pula yang mengatakan; orang Junub pun BOLEH
membaca Al Quran.
Apa alasan mereka? Menurut mereka hadits-hadits yang
melarang adalah lemah dan tidak bisa dijadikan dalil (alasan).
Hadits dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
أنه لا يحجزه شيء عن القرأءة إلا الجنابة
“Bahwasanya tidak ada suatu pun yang
menghalanginya dari membaca Al Quran kecuali junub.” (HR. Ibnu Majah No.
594)
Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil karena dhaif.
Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Salimah Al Kufi. Al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan, dia seorang yang shaduq (jujur) tapi hapalannya berubah. (At
Taqribut Tahdzib, No. 3364) yakni berubah ketika masa tuanya.
Imam At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih, Imam
Al Hakim mengatakan shahih dan disepakati Adz Dzahabi, juga dishahihkan oleh
Ibnu As Sikkin, Abdul Haq dan Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, tetapi ini
dikritik oleh Imam An Nawawi dengan mengatakan:
“Para hufazh selainnya mengatakan bahwa hadits ini dhaif.
… berkata Al Baihaqi: imam Syafi’i meriwayatkannya dalam Jima’ Ath Thahur, dan
mengatakan: sesungguhnya para ahli hadits tidak menshahihkannya. Al Baihaqi
juga mengatakan: Imam Syaf’i sendiri bersikap diam terhadap hadits ini karena
faktor Abdullah bin Salimah. Dia telah menjadi tua dan diingkari haditsnya dan
akalnya, dan dia meriwayatkan hadits ini ketika sudah tua sebagaimana dikatakan
oleh Syu’bah. Kemudian Al Baihaqi meriwayatkan dari para Imam tentang
penelitian apa yang dikatakannya.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/128.
1423H-2003M. Dar ‘Alim Al Kitab)
Imam Al Khathabi mengatakan bahwa Imam Ahmad melemahkan
hadits Ali ini disebabkan faktor Abdullah bin Salimah. (Syaikh Al Albani,
Irwa’ Al Ghalil, 2/242. Cet. 2. 1985M-1405H. Al Maktab Al Islami, Beirut -
Libanon)
Imam Bukhari berkomentar tentang Abdullah bin Salimah
ini: “Kami mengenalinya dan kami mengingkarinya.” (Nailul Authar, 1/226.
Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Oleh karena itu Syaikh Al Albani mengatakan;
وما
قاله هؤلاء المحققون هو الراجح عندنا لتفرد عبد الله بن سلمة به وروايته إياه في
حالة تغيره
“Apa yang dikatakan para muhaqiq (peneliti) itulah yang
rajih (lebih kuat) menurut kami, lantaran menyendirinya Abdullah bin Salimah
dalam meriwayatkan hadits ini, dan keadaannya dalam meriwayatkannya adalah
ketika dirinya telah berubah hapalannya.” (Ibid, 2/242-243)
Beliau juga mendhaifkan dalam kitabnya yang lain. (Shahih
wa Dhaif Sunan ibni Majah No. 594)
Imam Asy Syaukani Rahimahullah juga memperkuat barisan
ini, katanya:
ويجاب
عن ذلك بأن حديث الباب ليس فيه ما يدل على التحريم لأن غايته أن النبي صلى اللَّه
عليه وآله وسلم ترك القرآن حال الجنابة ومثله لا يصلح متمسكًا للكراهة فكيف يستدل
به على التحريم
“Hal ini bisa dijawab, bahwa hadits tersebut tidaklah
menjadi dalil keharamannya, karena maksudnya adalah bahwasanya Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam meninggalkan Al Quran ketika junub dan semisalnya, itu tidak
dapat dijadikan pegangan untuk memakruhkannya, maka apalagi untuk
mengharamkannya?” (Nailul Authar, 1/226)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah juga mengatakan:
لكن
قيل في الاستدلال به نظر لأنه فعل مجرد فلا يدل على تحريم
“Tetapi, telah dikatakan bahwa menjadikan hadits ini
sebagai dalil telah mendapatkan kritik, karena ini merupakan perbuatannya
semata yang tidak menunjukkan keharaman.” (Fathul Bari, 1/408. Darul Fikr.
Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 1/411. Maktabah As Salafiyah)
Hadits lain dari Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاتقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن
“Janganlah wanita haid dan orang junub
membaca sesuatu pun dari Al Quran.” (HR. At Tirmidzi No. 131, Al Baihaqi
dalam Sunannya No. 1375, katanya: laisa bi qawwi – hadits ini tidak kuat. Ad
Daruquthni, Bab Fin Nahyi Lil Junub wal Haa-id ‘An Qira’atil Quran ,No. 1)
Sedangkan Imam At Tirmidzi mengatakan: “Kami tidak
mengetahui kecuali dari jalur Ismail bin ‘Iyasy.” Beliau mengutip ucapan Imam
Bukhari: “Sesungguhnya Ismail bin ‘Iyasy meriwayatkan hadits-hadits munkar dari
penduduk Hijaz dan Iraq.” Lalu beliau berkomentar: “Seakan riwayatnya (Ismail
bin’Iyasy) yang seorang diri dari mereka (penduduk Hijaz dan Iraq) adalah
dhaif.” (Lihat Sunan At Tirmidzi –biasa juga disebut Jami’ At Tirmidzi, Juz.
1, Hal. 236, No. 131)
Imam Abu Hatim berkomentar tentang hadits di atas: hadza
baathil! (hadits ini batil). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 1/242.
Darul Ma’rifah, Beirut - Libanon)
Imam Ahmad bin Hambal juga mengatakan: hadza baathil! (Nailul
Authar, 1/226)
Imam Yahya bin Ma’in berkata tentang Ismail bin ‘Ayasy:
“Haditsnya yang berasal dari penduduk Syam adalah shahih, tetapi yang berasal
dari penduduk Iraq dan Madinah (hijaz), maka rusak lagi buruk.” (Ibid,
1/243) tetapi dia juga mengatakan tentangnya: tsiqah. (Ibid, 1/242)
Imam Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Tidak boleh berhujjah
dengannya.” (Ibid)
Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini
dhaif bahkan sampai tingkat munkar. (Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 131,
Dhaiful Jami’ No. 6364, Shahih wa Dhaif Sunan Ibnu Majah No. 596, Al Misykah Al
Mashabih No. 461)
Imam Asy Syaukani Rahimahullah juga mengingkari
pendalilan dengan hadits ini:
وأما
حديث ابن عمر ففيه مقال سنذكره عند ذكره لا ينتهض معه للاستدلا
“Ada pun hadits Ibnu Umar, maka di dalamnya terdapat
perbincangan yang akan kami sebutkan ketika membahasnya, yang tidak dapat
menguatkan untuk dijadikan dalil.” (Nailul Authar, 1/226) dalam
pembahasannya itu beliau menyimpulkan kedhaifan hadits ini dan menurutnya tidak
boleh mengaharamkan kecuali dengan dalil yang shahih.
Hadits lain dari Abul Gharif, katanya: Ali
bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berwudhu, dia berkumur dan menghirup air ke
hidung tiga kali, mencuci wajah tiga kali, mencuci kedua tangan hingga hasta
tiga kali, kemudian membasuh kepala, lalu mencuci kedua kakinya. Lalu Ali
berkata: ” Seperti inilah wudhu yang aku lihat dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam,” lalu dia (Ali) membaca sesuatu dari Al Quran, kemudian
berkata:
هذا لمن ليس به جنب أما الجنب فلا ولا آيه
“Ini bagi siapa yang tidak junub, ada pun
yang berjunub janganlah membaca, tidak pula satu ayat.”
Syaikh Ibnu Baz berkata: diriwayatkan oleh Ahmad dan
sanadnya Jayyid (baik), dari ‘Aisyah. (Fatawa Islamiyah, 4/25) oleh karena
itu beliau juga berdalil dengan hadits ini tentang larangan orang junub membaca
Al Quran, tetapi tidak seperti yang dikatakannya bahwa dalam Musnad Ahmad
hadits ini diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, padahal dari Ali bin
Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu!
Bukan hanya Syaikh Ibnu Baz, juga Syaikh Syu’aib Al
Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad , beliau mengatakan: sanadnya
hasan. (Musnad Ahmad No. 872, Muasasah Ar Risalah. Dengan taqdim; Syaikh Dr.
Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki)
Imam Al Haitsami Rahimahulah berkata tentang hadits ini:
“rijaaluhu mautsuqun (para perawi hadits ini terpercaya). (Majma’ Az Zawaid,
1/276. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Kairo)
Ternyata hadits ini didhaifkan oleh para
pakar hadits yang lain. Ada beberapa alasan:
Pertama. Dalam sanadnya terdapat rawi bernama: Abu Al
Gharif nama aslinya Ubaidullah bin Khalifah Al Hamdani.
Beliau ini, tidak ada yang menyatakan tsiqah selain Imam
Ibnu Hibban, dan Imam Ibnu Hibban dikenal oleh para pakar hadits sebagai ulama
yang mutasahil (menggampangkan) dalam mentsiqahkan seorang rawi. Sedangkan Imam
Abu Hatim mengatakan tentang Abu Al Gharif Ubaidullah bin Khalifah ini: “Laisa
bil masyhur ..” (bukan orang terkenal) … qad takallamuu fiih (para pakar hadits
memperbincangkan dirinya ..) (Imam Abu Hatim Ar Razi, Jarh wa Ta’dil No.
1489. Lihat juga Imam Abul Hajaj Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, No. 3630.
1400H-1980M. Muasasah Ar Risalah. Beirut – Libanon. Lihat juga Imam Adz
Dzahabi, Mizanul I’tidal, 3/ 6, No. 5356)
Imam Abu Hatim juga mengatakan bahwa Abul Gharif
merupakan kawan dekat atau orang yang sepadan dengan Ashbagh bin Nabatah,
seorang yang layyinul hadits (lemah haditsnya), dan matruk (haditsnya
ditinggal) menurut para pakar lainnya, diantaranya Al Hafizh Ibnu Hajar, maka
jelaslah kedhaifan hadits ini. (Syaikh Al Albani, Tamamul Minnah, Hal. 117)
Kedua. Hadits ini mauquf (hanya sampai sahabat nabi),
bukan marfu’ (sampai Rasulullah).
Sebagaimana yang nampak, bahwa ini hanya sampai Ali bin
Thalib saja. Artinya, walau pun seandainya hadits ini shahih, ini hanyalah
perkataan dan pendapat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
Hal ini juga diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam
Sunannya:
عن
أبي الغريف قال قال علي رضى الله تعالى عنه لا بأس أن تقرأ القرآن وأنت على غير
وضوء فأما وأنت جنب فلا ولا حرفا
Dari Abul Gharif dia berkata: berkatalah Ali Radhiallahu
‘Anhu: “Tidak apa-apa membaca Al Quran dan engkau tidak berwudhu, ada pun jika
kau berjunub maka jangan membacanya, tidak pula satu huruf.” (Sunan Al
Baihaqi No. 427)
Ini juga diriwayatkan oleh Imam Ad Daruquthni dalam
Sunannya, juga dari Abul Gharif, bahwa Ali berkata:
اقْرَءُوا
الْقُرْآنَ مَا لَمْ يُصِبْ أَحَدَكُمْ جَنَابَةٌ فَإِنْ أَصَابَتْهُ جَنَابَةٌ
فَلاَ وَلاَ حَرْفًا وَاحِدًا. هُوَ صَحِيحٌ عَنْ عَلِىٍّ
“Bacalah Al Quran selama kalian tidak dalam keadaan
junub, jika kalian dalam keadaan junub maka jangan membacanya, tidak pula satu
huruf.” Ini shahih dari Ali. (Sunan Ad Darquthni, Bab Fin Nahyi Lil Junub
wal Haa-id ‘An Qira’atil Quran, No. 7)
Imam Asy Syaukani mengatakan hadits ini adalah mauquf
sebagai ucapan Ali, bukan marfu’ (sebagai ucapan Rasulullah).
Selain itu kelompok yang membolehkan juga memiliki alasan
lain sebagaimana diceritakan oleh Imam An Nawawi berikut;
واحتج
من جوز مطلقا بحديث عائشة رضي الله عنها "أن النبي صلى الله عليه وسلم كان
يذكر الله تعالى على كل أحيانه". رواه مسلم؛ قالوا: والقرآن ذكر ولأن الأصل
عدم التحريم.
“Pihak yang membolehkan secara mutlak berhujjah dengan
hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaannya. (HR. Muslim) mereka
mengatakan: Al Quran adalah dzikir, karena itu pada dasarnya tidak diharamkan
(membaca Al Quran ketika junub, pen).” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab,
2/127)
Maka, tentang larangan orang junub membaca Al Quran tak
satu pun yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bisa
dijadikan hujjah. Maka, hal ini mesti bara’atul ashliyah (kembali ke hukum
asalnya) yaitu BOLEH. Inilah pendapat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, lalu
Imam Said bin Al Musayyib, Imam Said bin Jubeir, Imam Daud Azh Zhahiri, Imam
Ibnu Hazm, dan lainnya.
Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:
فسقط
الاستدلال بالحديث على التحريم ووجب الرجوع إلى الأصل وهو الإباحة وهو مذهب داود
وأصحابه واحتج له ابن حزم ( 1 / 77 - 80 ) ورواه
عن ابن عباس وسعيد بن المسيب وسعيد بن جبير وإسناده عن هذا جيد رواه عنه حماد بن
أبي سليمان قال : سألت سعيد بن جبير عن الجنب يقرأ ؟ فلم يربه بأسا وقال : أليس في
جوفه القرآن ؟
“Maka gugurlah pendalilan dengan hadits tersebut tentang
keharamannya, dan wajib kembali kepada hukum asal, yakni boleh. Inilah madzhab
Daud dan sahabat-sahabatnya, Ibnu Hazm berhujah dengannya (1/77-80). Ini juga
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Said bin Al Musayyib, Said bin Jubeir, dan
sanadnya tentang ini jayyid (baik). Telah diriwayatkan dari Hammad bin Abi
Sulaiman, dia berkata: “Aku bertanya kepada Said bin Jubeir tentang orang junub
yang membaca Al Quran, dia memandangnya tidak apa-apa, dan berkata; “Bukankah
Al Quran juga berada di rongga hatinya?” (Tamamul Minnah, Hal. 117)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وقال
داود: يجوز للجنب والحائض قراءة كل القرآن، وروي هذا عن ابن عباس وابن المسيب، قال
القاضي أبو الطيب وابن الصباغ وغيرهما: واختاره ابن المنذر، وقال مالك: يقرأ الجنب
الآيات اليسيرة للتعوذ، وفي الحائض روايتان عنه إحداهما: تقرأ والثانية: لا تقرأ،
وقال أبو حنيفة: يقرأ الجنب بعض آية ولا يقرأ آية وله رواية كمذهبنا.
“Berkata Daud: Dibolehkan bagi orang junub dan haid untuk
membaca seluruh Al Quran. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnul
Musayyib. Berkata Al Qadhi Abu Thayyib, Ibnu Ash Shabagh, dan selain mereka:
Inilah pendapat yang dipilih Ibnul Mundzir. Berkata Imam Malik: orang junub
boleh membaca Al Quran ayat yang ringan untuk perlindungan. Sedangkan tentang
wanita haid ada dua riwayat darinya, riwayat pertama menyebutkan boleh
membacanya. riwayat kedua menyebutkan tidak boleh membacanya. Sedangkan Imam Abu
Hanifah mengatakan: orang junub boleh membaca sebagian ayat, dan tidak boleh
ayat yang utuh, dia memiliki riwayat pendapat yang sama dengan madzhab kami
(Syafi’iyah).” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/127)
Dalam salah satu kitab madzhab Malik, yakni Al Khulashah
Al Fiqhiyah tertulis:
ولا
يحرم عليها قراءة القرآن أيام الحيض والنفاس سواء كانت جنبا…
“Tidak haram bagi wanita membaca Al Quran pada hari-hari
haid dan nifas, sama juga dengan orang junub ..”(Al Khulashah Al Fiqhiyah
‘Ala Madzhabis Saadah Al Malikiyah, Hal. 51. Maktabah Al Misykah)
Syaikh Sayyid Sabiq juga menambahkan informasi yang
menguatkan pendapat kelompok ini:
وذهب
البخاري والطبراني وداود وابن حزم إلى جواز القراءة للجنب.
قال
البخاري: قال إبراهيم: لا بأس أن تقرأ الحائض الاية، ولم ير ابن عباس بالقراءة
للجنب بأسا، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه.
قال
الحافظ تعليقا على هذا، لم يصح عند المصنف (يعني البخاري) شئ من الاحاديث الواردة
في ذلك: أي في منع الجنب والحائض من القراءة، وإن كان مجموع ما ورد في ذلك تقوم به
الحجة عند غيره لكن أكثرها قابل للتأويل.
“Sementara itu, Bukhari, Thabarani, Daud, dan Ibnu Hazm
berpendapat dibolehkannya membaca Al Quran bagi orang junub. Imam Bukhari
mengatakan bahwa Ibrahim berkata: “Tidak apa-apa bagi orang haid membaca satu
ayat, dan Ibnu Abbas memandang tidak mengapa bagi orang junub membaca Al Quran,
dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu berdzikir kepada Allah pada semua
keadaannya.
Mengomentari hal ini, Al Hafizh mengatakan: Tidak ada
yang sah dari penyusun kitab (yakni Al Bukhari) satu pun hadits yang memuat hal
ini; yaitu tentang larangan orang junub dan haid membaca Al Quran. Jika pun
semua dalil tentang itu ada dan dikumpulkan, yang dengan itu orang selainnya
akan menggunakannya sebagai hujjah, namun ternyata kebanyakan dalil itu masih
dapat ditakwil (maksudnya belum bisa dipastikan larangannya, pen).” (Fiqhus
Sunnah, 1/68)
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment