Kisah ini ditulis
Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syar’iyah-nya. Tentang Nashr bin Hajjaj, seorang lelaki yang sangat tampan, bahkan
mungkin paling tampan di kota Madinah yang shalih dan kalem pada masa Umar bin Khattab ra.
Suatu kali ketika Umar berkeliling kota Madinah, beliau mendengar suara wanita yang berpuisi tentang perasaanya pada Nashr.
Umar
berkata pada dirinya sendiri, “Tidak akan terjadi selagi Umar masih hidup.”
Maka, pada pagi harinya Umar mengirim seorang utusan untuk memanggil seseorang
yang bernama Nashr bin Hajjaj.
Maka Umar melihat sendiri betapa tampannya Nashr yang sudah membuat gadis-gadis mabuk kepayang. Ketampanannya menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah, kata
Umar. Lantas, Umar pun menggunduli Nashr dengan maksud untuk menghilangkan atau
mengurangi ketampanannya. Namun, ternyata Nashr makin tampak tampah, gagah, dan
jantan.
“Pergilah dan jangan
menetap di Madinah,” kata Umar. Ia pun mengirim si lelaki tampan itu ke Basrah
di Irak.
Di Basrah, Nashr
menginap di rumah Mujasyi’ bin Mas’ud yang dipenuhi kebahagiaan.
Isteri Mujasyi’ merupakan wanita yang cantik. Celakanya, Nashr jatuh hati pada
isteri Mujasyi’ yang cantik itu, dan cinta Nashr pun berbalas
dari isteri Mujasyi’. Jika Nashr dan Mujasyi’ berbincang-bincang, maka sang
isteri pun turut bersama keduanya.
Suatu hari, mereka
berbincang bertiga. Nashr menulis di atas tanah sebuah pernyataan. Kemudian
isteri Mujasyi’ pun menulis jawaban yang sama. Mujasyi’ tidak
tertarik untuk turut menulis karena ia setengah buta huruf. Namun dia merasa curiga dengan tulisan sang isteri: “Begitu pula saya.”
Diundangnya seorang penulis dan menyuruhnya membaca tulisan di tanah itu.
“Sesungguhnya,” kata si penulis itu membacakan tulisan Nashr, “Aku masih
mencintaimu, yang andaikan cinta ini ada di atasmu, maka dia akan memayungimu.
Dan jika cinta ini ada di bawahmu, maka ia akan menyanggamu.” Sebuah syair
sajak yang romantis.
Nashr mengetahui apa
yang dilakukan Mujasyi’. Maka ia pun merasa sangat malu. Dia meninggalkan rumah
Mujasyi’ dan tinggal sendirian. Lama-lama badannya lemah dan kurus seperti anak
burung kelaparan. Mujasyi’ dan isterinya mengetahui hal ini. Maka, atas dasar
rasa kasihan Mujasyi’ menyuruh isterinya datang mengobati Nashr.
“Pergilah,” kata
Mujasyi pada isterinya, “Sandarkan Nashr padamu dan berilah dia
makanan dengan tanganmu sendiri.” Sang isteri menolak melakukan itu.
Namun, Mujasyi’ tetap meminta isterinya melakukan hal itu. Betapa gembira Nashr
melihat kedatangan perempuan yang dicintainya. Maka, segeralah sesudah diobati
ia beranjak sembuh. Dengan kepedihan karena tak bisa menyemikan rasa cintanya
Nashr bin Hajjaj pergi meninggalkan Basrah. Kota dimana ia mencintai seseorang
yang tidak berada dalam satu ruang pernikahan yang sama.”
No comments:
Post a Comment